Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Sampahmu, Harga Dirimu

iya, gambarnya emang gak nyambung pict by: http://hdqwalls.com Kepintaran ternyata gak melulu berbanding lurus dengan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya.   Gak tau kenapa ya, gue selalu ilfil melihat jenis manusia yang suka males atau buang sampah sembarangan. Mau seganteng, sepintar, se-gawl, secantik, dan se-se lainnya, kalo itu orang buang sampah sembarangan, mereka tetep NORAK di mata gue.  Jadi ceritanya, seperti biasa sore itu penyakit kronis gue (laperan) kambuh lagi. Penyakit cepat lapar yang membuat gue harus turun dari lantai 23 ke lantai dasar, trus nyebrang ke gedung sebelah, terus naik lagi ke lantai 8 buat jajan di minimarket yang berada di dalam gedung tersebut. Beruntung, gue punya salah satu kawan baik yang mau aja membantu gue mengobati penyakit tersebut.   Sesampai di minimarket, gue langsung mengambil satu cemilan dan satu kotak susu kesukaan gue. Sehabis membayar di kasir, duduklah tuh gue di beberapa kursi yang ada di dalam minimarke

Lampau

Dia masih setia mengenakan kemeja hijaunya. Dengan lengan yang digulung sampai siku, jam tangan di sebelah kiri, dan beberapa gelang aneh yang ntah dari negara mana lagi dipakainya. Ya, dia masih pria yang sama yang kukenal 4 tahun lalu. "Ku pikir waktu bakal mengubah kamu, ternyata tidak. Kamu masih sama", kataku kepadanya siang itu. Di tengah kesibukanku, aku mencuri waktu bertemu. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, dia datang dengan tiba-tiba, lalu pergi. Seperti dulu, dia memaksaku untuk memberi sedikit ruang lagi di hatiku untuknya meski sudah diisi lelaki lain. Tapi setelah ruang itu ada, kemudian dia tiba-tiba pergi. Bangsat memang.  "Jadi kenapa kamu nyari aku lagi? Di sana jokes recehmu gak laku ya?," tanyaku lagi. "Kanada dingin. Aku rindu kamu. Kamu satu-satunya makhluk di dunia ini yang benci sekali dengan udara dingin," jawabnya.  "Rindu? Haha. Rindu hanya untuk orang yang lemah. Kamu tau aku," jawabku. 

Menikah: Tentang Mencintai Sedalam-Dalamnya, Memaafkan Seluas-Luasnya

Sejujurnya nih ya, gak ada seujung kukupun gue punya hak ngasi wejangan apapun soal pernikahan. Wong gue baru menikah bulan September lalu. Tapi berhubung karena ini blog gue dan gue bebas mau nulis apa, ya udah la ya... Mungkin di luaran sana banyak buku yang menulis tentang "Key secret to succesful marriage" atau "How to have a happy marriage" atau buku-buku tentang pernikahan yang bahagia lainnya. Tapi gue gak yakin ada manusia yang mencoba mempraktekkan apa yang tertulis di buku tersebut 100 persen. Gue pikir gak ada rumus baku yang mengajarkan bagaimana menciptakan pernikahan yang awet dan harmonis. Setiap manusia itu berbeda-beda. Yang tau karakter pasangan kita adalah kita sendiri. Jadi ya, yang tau caranya ya (mungkin) kita.  Beberapa minggu sebelum menikah, gue sempat meminta nasihat dari orang-orang terdekat gue.  Banyak banget saran dan masukan yang gue dapat. Ada yang bilang, kalo sudah punya pasangan nanti jangan membanding-bandingkannya d

Suporter Indonesia: Sadis di Luar, Nasionalis dan Agamis di Dalam

foto: Meutia Febrina Disclaimer : Tulisan ini murni pengalaman pribadi. Saya sama sekali tidak bermaksud men-generalisasikan kalo suporter sepak bola Indonesia kayak gini semua. Layaknya kehidupan, selalu ada yang baik dan yang buruk. Makanya ambil yang baiknya, perbaiki yang buruknya supaya menjadi baik. #hmmm... Minggu (21/10) lalu pertama kalinya gue dan Mas Suami nonton pertandingan sepak bola di Gelora Bung Karno (GBK). Kita mau nonton laga Timnas Indonesia U-19 vs Qatar di Piala AFC. Sebenarnya gue sama sekali gak paham soal sepak bola. Cuma karena menyenangkan suami secara lahir dan bathin adalah kewajiban istri, makanya gue mau bela-belain nemenin dia. *wqwqwqwq Awalnya, gue emang agak takut waktu diajakin nonton pertandingan bola. Masih kebayang diingatan gue, gimana beberapa waktu lalu anak laki-laki yang bernama Haringga Sirla harus meregang nyawa dikeroyok saat menonton tim kesayangannya berlaga di Bandung. Dia meronta, meminta ampun, memohon, tapi tidak ada

Trik Nge-hedon Berdua di Mall Jakarta Rp80 ribu Aja, Mau?

foto: Pixabay/Panjiarista Sebagai bagian dari ras pekerja Ibu kota, kata "diskon" adalah senjata bagi kami untuk bisa bertahan hidup. Derasnya arus konsumerisme di Jakarta, membuat kita harus jeli kalo gak mau kejebak dalam jeratan hedonisme, dan berakhir menjadi budak kapitalis. Maka dari itulah demi kesehatan dompet bersama, mari kita budayakan momen diskonan apapun itu. Terinspirasi dari prinsip ekonomi, melakukan pengeluaran sekecil-kecilnya, demi mendapatkan hasil yang maksimal~ Seperti yang gue lakukan pada hari Senin (8/10) lalu. Gue dan Mas Suami "cuma" mengeluarkan uang Rp80 ribu aja buat nge-hedon di salah satu mall di Jakarta. Nge-hedon versi gue ini adalah beli dua cemilan, dua minuman dan dua tiket nonton bioskop. Ada yang penasaran gak gimana caranya? Tapi sebelum ada yang komen "Ih, 80 ribu mending disumbangin buat ini sist. Buat itu sist,", atau "Yaelah gue bisa lebih murah dari itu,", atau komen-komen julid lainn

Netizen dan Jempolnya

Pada dasarnya, manusia hidup pasti selalu berkomentar. Jalanan macet, dikomentarin. Kereta penuh, dikomentarin. Bajunya aneh dikit, dikomentarin. Keteknya item, dikomentarin. Bedaknya keputihan, dikomentarin. Udara panas, dikomentarin. Makanan kondangan gak enak, dikomentarin. Pacarnya mantan lebih cantik, dikomentarin. Semuanya dikomentarin. Maha benar manusia dengan segala komentarnya.  Gak cuma di dunia nyata, manusia juga bisa berkomentar di dunia maya. Mereka disebut juga dengan netizen. Dalam sepemahaman gue, ntah kenapa kalo netizen itu jauh lebih "sadis" kalo berkomentar di dunia maya ketimbang dunia nyata. Mereka cenderung lebih berani, kasar, bahkan cenderung kejam berkata-kata. Mereka berani karena kebanyakan yang berkomentar sadis itu berlindung dibalik akun palsu atau ada yang mengunci akunnya. Biar apa gitu? Ya biar gak ketauan identitas mereka. Yap, pengecutkan?  Berdasarkan pengamatan iseng gue di media sosial, ada beberapa tipe komentar netizen

Kondangan (The Untold Story)

foto: plukme.com Memasuki usia 20an, pergi ke kondangan bisa jadi salah satu agenda wajib tiap akhir pekan. Mungkin karena massive-nya kampanye gerakan menikah muda di sosial media akhir-akhir ini, banyak anak muda yang 'terjebak' frasa: bahwa apapun masalahnya, solusinya adalah menikah. Helehhh~  Ngomong-ngomong soal pergi kondangan, ada hal-hal yang sering jadi ghibahan orang-orang di belakang kalo abis pulang kondangan. Hal-hal remeh yang sebenarnya gak substansial sama sekali untuk dibahas. Tapi karena udah sering gue denger dari orang-orang sekeliling gue, ya udah gue tulis aja di blog ini. Sebenarnya, niat gue dari tulisan ini ingin mengajak pembaca blog gue untuk gak nyinyir terhadap pesta pernikahan seseorang. Karena, (berdasarkan pengalaman gue dan isi hati temen-temen yang udah menikah) mengadakan sebuah pesta pernikahan itu gak mudah dan gak murah. Ada materi, waktu, hingga tenaga yang harus dikorbankan. Ada jutaan peluh keringat yang tak terhitung jat

Lebih Dari Sekedar Cakue

Sebenarnya, gue orangnya gak terlalu suka ngemil. Tapi emang Tuhan Maha Bercanda ya, dia menjodohkan gue dengan lelaki yang doyan banget makan. Sialnya, sebanyak apapun dia makan, badannya mah segitu-gitu aja. Beda dengan gue, makannya dikit tapi melarnya banyak. Sedi aq tu~ foto: Meutia Febrina Alkisah, pada hari Minggu (16/9) gue dan Mas Suami bertamasya ke Pasar Baru. Di bawah teriknya matahari Jakarta, gue dan mas suami menyusuri pertokoan di sepanjang Pasar Baru. Seperti pekan-pekan sebelumnya, Pasar Baru memang selalu ramai oleh penduduk Ibu kota. Ada yang belanja, ada yang mau kulineran, ada juga yang sekedar melihat-lihat aja alias gak belanja dan gak juga kulineran. Suka-sukalah. Setelah puas jalan-jalan dan keliling (dan dijajanin sendal jepit yang gak ramah di kantong Rp40 rebu wkwkwkw), mas suami ngajakin gue untuk beli cakue buat oleh-oleh. Emang dasarnya gue anaknya mau-an, ya udah kitapun langsung menuju ke Cakue yang udah termahsyur se-JKT, yaitu Cakue Ko

Lelaki dengan Hati Paling Luas Sedunia

Terima kasih.......... :)

Dialog Diri: Sebuah Proses Menerima

Ada beberapa hal yang sulit dalam hidup. Selain memutuskan pilihan antara makan rendang atau gulai udang, hal paling sulit lainnya dalam hidup menurut gue adalah proses  menerima - dalam hal apapun itu. Sebagai manusia yang terlahir dengan DNA ego yang tertanam di dalam setiap sel tubuh gue, proses menerima itu menjadi sulit karena seolah-olah harus meruntuhkan sebagian harga diri gue. Ada semacam "tembok" besar yang terbendung di pikiran gue, kalo gue gak harus menerima begitu saja hal-hal yang tidak sesuai dengan ego gue. Egois memang. Ya, begitulah gue. Tapi, hidup gak didesain untuk mengikuti mau gue aja. Berkali-kali gue dibuat menangis sejadi-jadinya dan berdarah berkali-kali karena mau gak mau gue harus mau "menerima" banyak kenyataan. Menerima kalo gue pernah kehilangan, menerima kalo gue harus kalah, dan menerima kalo otak manusia itu pada dasarnya diciptakan sama, tapi cara menggunakannya saja yang berbeda. Yap. Menerima ternyata serumit itu.

Teman Tapi Toxic

Katanya temen, tapi kok toxic? Dalam circle dunia pertemanan, tentu kamu pernah menemukan spesies teman yang seperti ini. Mereka yang mau enaknya aja. Mereka yang gak mikir suka nyusahin orang. Dan yang paling bahaya, mereka yang suka mengeluarkan jurus " Pakai duit lo dulu atau ntar gue transfer ". Manusia kayak gini enaknya diapain ya? Alkisah, dulu, dulu banget, gue pernah punya teman (sebut saja Tejo) yang seperti ini. Hari-hari gue sering dibuat kesel sama dia. Saking keselnya, dia lagi gak ngeselin pun gue tetep kesel. Kesel-lah pokoknya.  Si Tejo ini orangnya gaul abits. Tipikal milenial Ibu kotalah dandanannya. Kemeja, sneakers, tas ala ala Nama Studio, dan gadget freak pastinya. Tejo suka cerita kalo weekend dia selalu habiskan dari satu cafe ke cafe yang lain demi feed instakhram yang aesthethic. Ya gue gak masalah, mungkin itu salah satu cara dia mewaraskan diri tinggal di Ibu kota yang kadang gak waras ini. Tapi, yang bikin gue KZL adalah omongan

Semoga Selalu Baik

Saya akan memulai sebuah hidup baru yang baik dalam waktu dekat. Untuk mengawali yang baik, saya ingin berbaikan dengan semuanya. Termasuk kepada hal-hal yang pernah menjadi bagian yang tidak baik dalam hidup saya. Terima kasih pernah menjadi baik, terima kasih pula pernah menjadi bagian yang tidak baik. Semoga kita selalu dikelilingi dengan hal-hal yang baik. F. A Meutia

Minggu Bersama Papa

Papaku adalah seorang pedagang kain. Ia mengelola sebuah toko kain milik orangtuanya di dalam pasar di pusat kota Padang. Aku kurang tau persis sudah sejak kapan papa menjadi seorang pedagang. Belum sempat kutanyakan, dia sudah dipanggil Tuhan. Toko papa bernama Toko Dewi.  Jangan tanya lagi maknanya apa. Jawabanku sama seperti yang di atas. Dia sudah dipanggil Tuhan. Dalam tokonya, papa menjual berbagai macam barang. Mulai dari kain batik, kain sarung, selimut, bed cover, sajadah, mukena, taplak meja, sampai baju koko. Semuanya ada. Toko papa tidak begitu besar. Hampir 70 persen tokonya diisi dengan barang dagangannya. Sementara di tengah-tengahnya ada meja kerja papa. Di sana tempat dia biasa membuat nota penjualan, menyimpan uang, dan menerima telepon dari langganannya termasuk telepon gak penting dari aku. Ntah sekedar aku minta dijemput, atau minta uang tambahan untuk membayar buku. Setiap hari minggu, toko papa hanya buka setengah hari saja. Makanya papa suka m

Pada Suatu Hari Baik Nanti

(Sok Ngajarin) Etika Naik Transjakarta

Sebagai bagian dari 10,37 juta (Data BPS 2017) warga DKI, Transjakarta alias busway adalah alat transportasi andalanqu buat kemana-mana. Selain murah, Transjakarta juga jauh lebih aman (menurut gue) ketimbang moda transportasi lainnya seperti kereta commuter, angkot, ojek online, apalagi kopaja dan metromini. Proyek transportasi yang dibangun 9 tahun lalu ini sedikit banyak memang membantu mempermudah hari-hari gue. Mulai dari ngantor, ke mall, kondangan, nonton, pacaran, ketemuan sama gebetan, mantan, selingkuhan, ke rumah sodara, sampai membantu menghabiskan waktu ketika gue jenuh di kosan. Yup, ini salah satu hal paling absurd yang pernah gue lakukan dalam hidup. Layaknya berbicara kepada yang lebih tua, menggunakan Transjakarta juga ada etikanya lho gengs. Tapi bukan aturan tertulis juga sih. Sebenarnya kesadaran dari masing-masing kita aja kalo transportasi ini milik publik, jadi harus kita jaga bersama. Karena yang naik Transjakarta gak cuma kamu, jadi kita tentu harus

Mengurus Surat-Surat yang Menguras Hati

Dari semua episode mengurus perintilan buat pernikahan, mungkin yang paling menguras hati dan emosi adalah pas bagian urusan surat menyurat. Kenapa? Karena menurut gue itu ribet, KALAU TIDAK TELITI.  Gue bakal ceritain selengkapnya di bawah ini. Semoga bisa menjadi pengalaman buat kalian semua pembaca setia blog gue jika suatu saat mengalami hal yang sama. (Kayak ada aja yg baca blog bapuq ini. Hehehehe..). Bisa dibilang, 65 persen urusan perintilan pernikahan gue yang nyiapin sendiri. Kondisi Mas Pacar yang masih dalam fase recovery dari kecelakaan, gak memungkinkan dia untuk menemani gue buat kesana kemari. Jadilah segala urusan mulai dari nyari bahan untuk seragam, seserahan, souvenir, hingga perintilan lainnya gue yang jalan sendiri. #setrongabitshgaktuwh Setelah perintilan yang kicik-kicik itu selesai gue ceklis, tibalah masanya mengurus Surat Numpang Nikah. Karena di kantor lagi sibuk banget dan gak enak buat ambil cuti, jadilah gue harus bolak balik ngurusin su

Hamburg

Apa yang kamu cari sampai harus berlari dan menghabiskan hidup di tempat yang asing ini. Tempat di mana tidak ada satupun yang mengenal siapa diri kamu, masa lalu kamu, dan luka yang kamu rasa. L.R http://ttnotes.com  

Dari Saya, Perempuan yang (Katanya) Gak Bisa Apa-Apa

Gue sama sekali gak mahir memasak. Kalopun gue sering masak di kosan, masakan yang gue masak juga yang gampang-gampang aja seputaran tumis ataupun goreng. Gue belum mahir masak masakan seperti gulai ataupun masakan khas Padang lainnya. Gue juga gak mahir dandan. Peralatan make up gue juga seadanya aja layaknya wanita pada umumnya. Bukannya gak suka dandan, tapi kerjaan gue gak menuntut itu. Tim gue di kantor cowok semua. Bisa dipastikan gue bakal di-bully kalo ke kantor dandan head to toe lengkap dengan bulu mata yang cetar membahana.  Gue juga suka bangun siang. Bangun tidur di siang hari itu adalah salah satu cara gue membahagiakan diri gue setelah bekerja keras semalaman. Gue sudah bekerja keras, badan gue pasti butuh diapresiasi.  Dengan kebiasaan gue seperti itu, gak jarang orang suka bilang  "Perempuan macam apa sih itu? Masak aja gak bisa, suka bangun siang, dandan aja males. Emang ada yang mau?" ADA kok. Ada laki-laki yang mau menerima semua kekurang

#AntiBukberBukberClub

Kasi tepuk tangannya dong guys, tahun ini gue bener-bener absen dari bukber-bukberan yang acaranya diadain di mall. Gak terasa bulan puasa udah mau habis tinggal hitungan hari. Gak terasa juga bulan ini banyak undangan bukber yang gue dapat dari teman-teman. Mulai dari temen TK, temen SD, temen les bahasa Inggris, temen les sempoa, temen les bahasa mandarin, temen les merajut, temen SMP, temen les Karate, temen les menyulam, berenang, memanah dan berkuda, temen SMA, temen kuliah, sampai temen jajan. Untung gak ada undangan dari temen tidur. #Eh... Bagi gue pribadi, gue masih konsisten menolak secara halus undangan buka puasa yang diadakan di mall. Bukannya sombong atau sok introvert, gue punya beberapa alasan kuat kenapa gue nolak-nolakin agenda bukber yang ada diadain di dalam mal tersebut.   Pertama, perjalanan menuju mall yang menguras energi. Rata-rata (sepengetahuan gue), perkantoran di Jakarta memulangkan karyawannya pukul 16.00 WIB. Bayangin aja ada berapa gedung per

Meutia Kepada Meutia

Halo Meut, apa kabar?  Lama gak cerita-cerita di blog ini, saking lamanya tau-tau proyek underpass mampang yang macetnya bikin gila itu udah kelar aja. Dan seperti tebakan gue, underpass yang didesain 'futuristik' itu mulai dibanjiri anak-anak hypebeast yang foto-foto di sana. Huh!! Ngomong-ngomong, ada banyak hal yang sudah gue lewati selama beberapa bulan belakangan ini. Bahkan saking banyaknya gue sampe bingung mau menceritakan hal yang mana. Kita mulai aja ya.  Mungkin hal pertama yang masih membekas dari ingatan gue adalah kepindahan salah seorang sahabat gue yang ikut suaminya ke kota lain beberapa waktu lalu. Bisa dibilang perempuan ini yang menjadi tempat gue menumpahkan semua unek-unek gue setiap hari. Dia menjadi salah seorang yang berjasa besar membuat gue bisa seperti sekarang. Hahaha. Dia gak tau aja gimana gue nangis-nangis di kosan karena harus pisah sama dia. Tapi dia bilang ke gue "Lo cuma kehilangan satu, gue kehilangan 12 orang sekaligus