Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Suporter Indonesia: Sadis di Luar, Nasionalis dan Agamis di Dalam

foto: Meutia Febrina Disclaimer : Tulisan ini murni pengalaman pribadi. Saya sama sekali tidak bermaksud men-generalisasikan kalo suporter sepak bola Indonesia kayak gini semua. Layaknya kehidupan, selalu ada yang baik dan yang buruk. Makanya ambil yang baiknya, perbaiki yang buruknya supaya menjadi baik. #hmmm... Minggu (21/10) lalu pertama kalinya gue dan Mas Suami nonton pertandingan sepak bola di Gelora Bung Karno (GBK). Kita mau nonton laga Timnas Indonesia U-19 vs Qatar di Piala AFC. Sebenarnya gue sama sekali gak paham soal sepak bola. Cuma karena menyenangkan suami secara lahir dan bathin adalah kewajiban istri, makanya gue mau bela-belain nemenin dia. *wqwqwqwq Awalnya, gue emang agak takut waktu diajakin nonton pertandingan bola. Masih kebayang diingatan gue, gimana beberapa waktu lalu anak laki-laki yang bernama Haringga Sirla harus meregang nyawa dikeroyok saat menonton tim kesayangannya berlaga di Bandung. Dia meronta, meminta ampun, memohon, tapi tidak ada

Trik Nge-hedon Berdua di Mall Jakarta Rp80 ribu Aja, Mau?

foto: Pixabay/Panjiarista Sebagai bagian dari ras pekerja Ibu kota, kata "diskon" adalah senjata bagi kami untuk bisa bertahan hidup. Derasnya arus konsumerisme di Jakarta, membuat kita harus jeli kalo gak mau kejebak dalam jeratan hedonisme, dan berakhir menjadi budak kapitalis. Maka dari itulah demi kesehatan dompet bersama, mari kita budayakan momen diskonan apapun itu. Terinspirasi dari prinsip ekonomi, melakukan pengeluaran sekecil-kecilnya, demi mendapatkan hasil yang maksimal~ Seperti yang gue lakukan pada hari Senin (8/10) lalu. Gue dan Mas Suami "cuma" mengeluarkan uang Rp80 ribu aja buat nge-hedon di salah satu mall di Jakarta. Nge-hedon versi gue ini adalah beli dua cemilan, dua minuman dan dua tiket nonton bioskop. Ada yang penasaran gak gimana caranya? Tapi sebelum ada yang komen "Ih, 80 ribu mending disumbangin buat ini sist. Buat itu sist,", atau "Yaelah gue bisa lebih murah dari itu,", atau komen-komen julid lainn

Netizen dan Jempolnya

Pada dasarnya, manusia hidup pasti selalu berkomentar. Jalanan macet, dikomentarin. Kereta penuh, dikomentarin. Bajunya aneh dikit, dikomentarin. Keteknya item, dikomentarin. Bedaknya keputihan, dikomentarin. Udara panas, dikomentarin. Makanan kondangan gak enak, dikomentarin. Pacarnya mantan lebih cantik, dikomentarin. Semuanya dikomentarin. Maha benar manusia dengan segala komentarnya.  Gak cuma di dunia nyata, manusia juga bisa berkomentar di dunia maya. Mereka disebut juga dengan netizen. Dalam sepemahaman gue, ntah kenapa kalo netizen itu jauh lebih "sadis" kalo berkomentar di dunia maya ketimbang dunia nyata. Mereka cenderung lebih berani, kasar, bahkan cenderung kejam berkata-kata. Mereka berani karena kebanyakan yang berkomentar sadis itu berlindung dibalik akun palsu atau ada yang mengunci akunnya. Biar apa gitu? Ya biar gak ketauan identitas mereka. Yap, pengecutkan?  Berdasarkan pengamatan iseng gue di media sosial, ada beberapa tipe komentar netizen