Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Bahagia Bukan di Dunianya (Si) Maya

foto: shutterstock "Bahagia Seharusnya Nyata". Begitu judul berita yang gue baca dari situs berita idola gue, Tirto.id beberapa waktu lalu. Berita yang berformat infografis itu mengutip perkataan Direktur Center for Cognitive & Social Neuroscience John Cacioppo, bahwa pada dasarnya internet tidak akan bisa menggantikan kehampaan akan sesuatu yang nyata. Bahagia yang sebenarnya adalah bukan di dunianya si maya.  Di era sosial media ini, setiap manusia punya kuasa untuk membagikan apapun yang terjadi di kehidupannya. Dan mereka cenderung membagikan hal yang indah-indah saja di kehidupannya. Sosial media membingkai hidup manusia seolah-olah sempurna. Padahal..... Padahal kita semua tahu, Tuhan menggariskan kehidupan manusia itu gak selalu bahagia. Ada sedih, kecewa, hancur, kesal, emosi, puas, kenyang, letih, pusing, dan berbagai macam rasa lainnya.  Gue mengambil contoh media sosial idola kids zaman now, yakni Instagram. Di sana kita mudah banget menemukan

Mendengar Dengan Hati, Berkata Dengan Jari

Gue iri sama Pak Sahid. Jika dosa manusia bisa dikalkulasikan secara kasar, mungkin Pak Sahid termasuk manusia dengan dosa paling sedikit di muka bumi ini. Kenapa? Karena dia seorang tuna rungu.  foto by: me Karena dia tuli, dia gak perlu mendengar hal-hal gak baik yang terjadi setiap harinya. Ntah itu makian dari supir metromini kepada pengendara motor di jalanan, atau pasangan yang berantem di tempat umum yang saling melontarkan kata kasar. Dia juga gak perlu mendengar gosip-gosip murahan yang sehari-harinya berseliweran di televisi, bahkan dia juga gak perlu mendengar janji-janji manis yang ditebar oleh para pejabat di negeri ini.  Dan boleh jadi, dia juga termasuk dalam daftar manusia paling bahagia di dunia. Karena dia gak akan pernah mendengar omongan negatif dari orang-orang tentang dia. Tidak ada beban untuk menjadi begini, menjadi begitu, mengubah ini, mengubah itu, demi memuaskan mulut-mulut nyinyir di sekitarnya. Dia juga gak akan cepat baper, dan gak gamp

Diistimewakan Oleh Yogyakarta (III/Habis)

Mengunjungi candi-candi yang ada di Jogja membuat gue berasa ditarik ke masa lalu. Masa dimana Jawa masih dipimpin oleh para raja-raja. Ada putri raja, ada permaisuri, prajurit dengan kuda dimana-mana. Dalam bayangan gue nih, mereka berseliweran di sekeliling candi, dan setiap sore sang putri duduk-duduk di sekitar candi sambil memandangi cantiknya matahari sore di Tanah Jawa.  Hari ketiga di Jogja, gue masih merasa diistemewakan selama di sini. Kali ini, beberapa situs candi menjadi tujuan gue. Gue menggunakan transportasi Transjogja., pengen tau aja sih rasanya gimana keliling Jogja naik bis yang satu ini.  Sampai di terminal (gue lupa nanyanya), barulah gue memesan ojek untuk membawa gue ke beberapa candi di sekitar Prambanan. Kalo gak salah waktu itu si bapak ojeknya gue bayar Rp60 ribu, dia mengantarkan gue ke beberapa tempat. Mulai dari Tebing Breksi, Candi Plaosan, Candi Ijo, dan terakhir Candi Prambanan.  foto by: me menikmati sunset di sudut Prambanan Jogja i

Diistemewakan Oleh Yogyakarta (II)

Menjadi asing itu terkadang menyenangkan. Itu yang gue rasakan ketika gue lari pagi sendirian di komplek alun-alun keraton Jogja di hari kedua gue di sana. Sengaja, dari Jakarta gue bela-belain bawa sepatu untuk lari selama di sana. Gue pengen ngerasain aja gimana lari ditemani udara pagi Jogja yang masih sejuk. Pukul 6 pagi gue bangun. Udah agak terang memang, cuma jalanan masih lumayan sepi. Toko-toko yang gue susuri sepanjang jalan masih pada tutup. Yang buka cuma yang jualan sarapan pagi.  Sampe di alun-alun, ternyata gak cuma gue yang lari di Jumat itu. Banyak masyarakat Jogja yang juga lari mengitari alun-alun. Anak-anak sampe orang tua ada di sana. Setelah capek lari dua putaran, gue pun duduk istirahat di bawah pohon. Gue melihat disekitaran gue, banyak orang yang juga sedang lari. Gak ada satupun yang gue kenal. Menjadi asing itu terkadang menyenangkan. Mereka semua gak ada yang tau jeleknya sifat gue, gak ada yang ngomongin gue, gak ada yang suka nyinyirin gue, ga

Diistimewakan Oleh Yogyakarta (I)

" Pergi ke Jogja adalah caraku mentertawakan kesibukan orang-orang di Jakarta ," Begitu kalo kata Pak De Sudjiwo Tedjo yang gue kutip dari akun Twitternya beberapa waktu lalu. Liburan ke Jogja sebenarnya masuk dalam salah satu wish list gue dari tahun kemarin. Tapi karena begitu banyak hal yang gue harus gue selesaikan di tahun kemarin, niatain itu baru bisa gue wujudkan tahun ini.  Restu cuti sudah gue kantongi, duit buat jalan-jalanpun sudah disiapkan jauh-jauh hari. Dengan menggunakan moda transportasi andalan kelas menengah ngehek yakni kereta api, berangkatlah gue dan 3 kawan gue (Mbaade, Mba Iki, dan Geri) menuju kota gudeg tersebut. Kereta mengantarkan kami dari Stasiun Pasar Senen pukul 22.00 WIB. Di kereta, kami semua bobok dengan cantiknya karena sebelumnya masih harus liputan dulu sebelum malamnya berangkat ke Jogja. Journalist lyfe~ Matahari pagi kota Wates membangunkan gue dari tidur yang sebenernya tidak terlalu nyenyak. Namanya juga kelas kereta kel