Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Negeri Baper

Alkisah ada sebuah negeri yang bernama Negeri Baper. Negeri ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Baper. Rakyat Baper sangat memuja Raja Baper karena tidak mau sang raja menjadi baper. Raja Baper sangat senang dipuja, dihormati dan disanjung. Ia akan sangat baper jika ada rakyatnya yang tidak menghormati dia dan menganggap remeh dia. Suatu hari, salah seorang menteri di Negeri Baper lupa memberi hormat kepada Raja Baper ketika sang raja lewat di depannya. Ia pun mengamuk dan memarahi menteri tersebut di depan menteri-menteri yang lainnya. “Kamu sudah mulai berani melawan saya? Tidak menghargai dan menghormati saya? ,” hardik Raja Baper. “Am..pu…n Tuan Ra…ja. Ssssaya …tttidak bermaksud bbbbegitu,” ujar Menteri dengan suara yang terbata-bata. Sebenarnya, menurut pengakuan si menteri ia sudah memberi hormat pada Raja Baper. Tapi Raja Baper tidak melihatnya karena sedang asyik ngobrol dengan tamunya. “Sssaya sudah memberi hhormatt.. Ttttapi Tuan RRajjaa tid

Menjadi Kakak yang Sebaik-baiknya, Sehebat-hebatnya

Tempo hari gue mengalami mimpi yang membuat gue sedih sekaligus tertempar. Ceritanya gini, adik gue yang cowok yang paling bontot bunuh diri dan loncat dari jembatan. Mukanya terlihat frustasi dan sedih gitu gue gak tau kenapa. Dan sedihnya gue gak bisa berbuat apa-apa menghentikan dia. Terus dia jatoh dan kepalanya mengeluarkan darah. Dan gak lama kemudian gue tersadar dan bangun. Gue mengucap astagfirullah dan bersyukur kalo semua itu cuma mimpi. Sejatinya, every human is an actor or actress ini our life. We have the character that we played everyday. Di rumah, gue berperan sebagai kakak sekaligus anak kedua. Di kantor, gue berperan sebagai karyawan dan penulis, di lingkungan sosial gue berperan sebagai perempuan 25 tahun, dan banyak lagi. Tentu kita sebagai manusia pasti berharap bisa ‘memainkan’ semua peran tersebut sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya. Tapi, mimpi gue yang tempo hari lalu itu secara gak langsung seakan-akan menyiratkan gue kalau gue sudah gagal berperan menjadi kaka

Menuju seperempat abad

Terhitung 72 jam dari sekarang, gue bakal memasuki usia 25 tahun. Bagi gue pribadi, memasuki usia seperempat abad ini bukanlah perkara yang mudah. Ndak sampai menguras duit sih, tapi menguras hati lebih tepatnya. Menguras hati karena gue bakal butuh hati yang lebih lapang lagi untuk menerima kenyataan hidup yang kadang gak semanis permen kiss. Menguras tenaga karena mungkin gue harus bekerja lebih giat lagi ke depannya. Dan menguras pikiran karena menjadi dewasa bukan soal umur, tapi soal pengendalian diri. Jika ditarik ke belakang, belum lama rasanya gue dibonceng naik sepeda dengan almarhum Papa ke bukit yang berada di belakang rumah lama gue di kota Padang. Setiap Minggu pagi ba'da Subuh, gue duduk di atas stang sepeda yang sudah dimodifikasi sendiri oleh Papa. Sepeda Federal hijaunya, kesayangannya. Usia gue waku itu kalo gak salah baru 5 tahun. Setiap kali ada jalanan menanjak, gue selalu tertawa melihat muka Papa yang ngos-ngosan karena keberatan membonceng gue. Waktu kec