Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Kepada yang Ditinggalkan

Untukmu yang tengah bersedih hatinya, mari ke sini duduk di hadapanku. Aku akan bercerita sesuatu.  Kata orang, kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Kehilangan hanyalah sebagian kecil dari proses kehidupan yang maha rumit. Jadi kamu tidak perlu larut di dalamnya.  Mari, sandarkan kepalamu yang penat itu di bahuku. Atur posisi senyaman mungkin. Aku tahu kamu lelah. Aku lihat peluhmu. Aku hapal setiap helaan napas yang keluar dari bibirmu. Aku tahu persis berapa banyak air matamu yang kamu buang untuknya. Aku juga paham berapa banyak waktumu yang telah kamu sia-siakan bersamanya. Dan aku menyimak dengan detail setiap episode kehidupan kamu dengannya. Matamu tidak bisa berbohong kalau kamu tengah menyimpan duka. Dua kata: kamu tangguh.  Tapi dengar, kamu hanya butuh jeda, sayang. Sejenak dari semua ini. Menangislah di bahuku. Sepuasmu. Basahi saja pundakku. Buang semua sedihmu di sana. Dan setelah itu, mari ke sini ku bisikkan sesuatu.  Kadang, Tuhan Maha Pencemburu. Ketik

Drama Sahur Anak Kos-kosan

25 tahun usia gue hidup di planet bumi ini, hari ini (30/5/2017) adalah hari pertama buat gue melewati ritual sahur seorang diri. Dari mulai beli lauk ke warteg, makan dan minum semua gue lakukan sendiri. Terasa absurd. Dan semua itu makin absurd ketika saat makan tiba-tiba air mata gue menetes karena rindu keluarga yang jauh di sana.. Meski gue udah hampir 7 tahun ini hidup merantau di Ibu kota, tapi baru 9 bulan belakangan gue tinggal di kos-kosan. Selama 6 tahun gue masih merasakan hangatnya sahur dan berbuka puasa meski hanya bersama sepupu, om dan tante gue. Tapi kali ini enggak. Gue sendiri, di sebuah kamar kosan yang kecil namun nyaman (menurut gue) yang berada di selatan Ibu kota.  18 tahun lalu, waktu itu gue masih esde dan papa masih ada, ritual sahur menjadi ritual yang sangat menyenangkan buat gue. Gue selalu bersemangat ketika papa membangunkan sahur. Meski menu sahur yang dimasak mama waktu itu sangat sederhana, sesederhana senyummu (ahelahh) telor ceplok, sayur

3.600 Jam

Hari itu pukul 10 malam. Di pintu stasiun itu kita berdiri. Terpaku. Kamu berkata kepadaku kalau kamu harus buru-buru pulang, karena esok paginya kembali bekerja.  Aku merajuk, memaksamu untuk tinggal menemaniku menikmati malam di negaramu lebih lama lagi. Karena entah kapan semesta bisa mempertemukan kita lagi.  Aku menatap matamu dan menggenggam tanganmu, sepanjang jalan itu. "Setidaknya malam ini kau milikku," k ataku egois. Iya, malam ini saja. Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan, belum tentu. Aku meminta kamu untuk mengantarkanku pulang sampai ke depan hotel tempat aku bermalam. "Udah, sendiri saja. Beranikan? Cuma tinggal ngikutin jalan yang sama seperti yang tadi kita berangkat kok", katamu. Akhirnya aku mengalah. Aku beranikan diri untuk pulang dengan kereta malam ini sendiri. Jika aku nyasar di negaramu, toh aku masih bisa menghubungimu lagi. Pikirku.  Tapi, ternyata itu isyar

Tuhan Tersenyum Saat Menciptakan Banyuwangi (II/Habis)

Dengan mata masih terkantuk-kantuk, gue membangunkan Dini yang masih tertidur pulas di kasur sebelah gue. Ini anak kelelahan banget kayaknya, setelah seharian kerja banget dengan totalnya nge-shoot video. Yup, kita memang baru tidur selama dua jam. Padatnya acara kantor yang baru selesai pukul 11 malam, sedangkan jam 1 kita udah harus bangun lagi untuk berangkat menuju salah satu destinasi wisata impian gue, Kawah Ijen. Ada 3 alasan kenapa gue pengen banget mengunjungi kawah yang terletak di ketinggian 2.443 m dpl ini. Pertama, gue pengen melihat keindahan kawahnya yang berair biru, kedua gue pengen melihat fenomena blue fire yang katanya cuma ada dua di dunia, dan terakhir gue pengen menyaksikan sunrise dari puncak gunung Ijen nya yang cantik.   Gue mengenakan celana jeans, jaket minjem punya si Kiki, kamera, pake baju lengan panjang, dan sepatu malam itu. Udah siap banget gue kayaknya untuk "menjamah" si Ijen ini. Antusias gue bahkan ngalahin rasa capek gue (Cei

Tuhan Tersenyum Saat Menciptakan Banyuwangi (I)

Berkunjung ke Banyuwangi sebenarnya masuk ke dalam bucket list gue tahun ini. Tabungan udah disiapin, kalender bulan Oktober juga udah dilingkarin, tinggal menunggu restu cuti dan gue siap berangkat. Tapi puji syukur Sang Pemilik Semesta mengijinkan gue pergi ke kota yang dijuluki The Sunrise of Java ini jauh lebih cepat dari target gue, plus bonus dengan budget Rp0 alias FREE :D Jadi, dari sekian ratus alasan mengapa bekerja sebagai jurnalis itu menyenangkan versi gue, inilah salah satu alasannya. Penugasan liputan bisa membawa kami para jurnlais pergi kemana saja baik di dalam atau luar negeri dengan 'gratis'. Tapi, jangan dikira kalau gue bisa sepenuhnya bahagia dengan jalan-jalan ini. Meski gratis, tapi sang redaktur menitipkan banyak 'titipan' ke gue yang tidak lain dan tidak bukan adalah laporan perjalanan selama di sana. Yaudahlah ya, namanya juga kerja. Kecuali kalo emang benar-benar liburan, baru gue bisa terbebas dari segala