Langsung ke konten utama

Tuhan Tersenyum Saat Menciptakan Banyuwangi (II/Habis)

Dengan mata masih terkantuk-kantuk, gue membangunkan Dini yang masih tertidur pulas di kasur sebelah gue. Ini anak kelelahan banget kayaknya, setelah seharian kerja banget dengan totalnya nge-shoot video. Yup, kita memang baru tidur selama dua jam. Padatnya acara kantor yang baru selesai pukul 11 malam, sedangkan jam 1 kita udah harus bangun lagi untuk berangkat menuju salah satu destinasi wisata impian gue, Kawah Ijen.

Ada 3 alasan kenapa gue pengen banget mengunjungi kawah yang terletak di ketinggian 2.443 m dpl ini. Pertama, gue pengen melihat keindahan kawahnya yang berair biru, kedua gue pengen melihat fenomena blue fire yang katanya cuma ada dua di dunia, dan terakhir gue pengen menyaksikan sunrise dari puncak gunung Ijen nya yang cantik.  

Gue mengenakan celana jeans, jaket minjem punya si Kiki, kamera, pake baju lengan panjang, dan sepatu malam itu. Udah siap banget gue kayaknya untuk "menjamah" si Ijen ini. Antusias gue bahkan ngalahin rasa capek gue (Ceileh). Total ada 7 orang temen-temen kantor beserta Ibu Bos gue yang bakal mewarnai perjalanan kali ini. 

Tepat pukul 1 kita cuss berangkat. Menggunakan mobil, perjalanan dari hotel ke pos Patulding yang merupakan titik awal pendakian menuju kawah Ijen sekitar 45 menit. Banyuwangi cukup dingin malam itu. Gue, Mas Rifky, Mas Gita dan Dini memilih untuk tidur sejenak di mobil karena kami semua bener-bener butuh tidurr!!

Setengah jam perjalanan tiba-tiba gue terbangun. Kerlap kerlip lampu kota Banyuwangi udah gak keliatan lagi. Semua berganti dengan hutan belantara di kiri dan kanan gue. Gak ada lampu, satu-satunya sumber cahaya cuma lampu mobil. Perjalanan dari hotel menuju Pos Patulding juga seru, karena jalurnya bergelombang mirip jalur offroad.

Begitu gue melihat pemandangan ke langit, gue kaget dan ternganga. Kenapa? Belum pernah gue melihat bintang sebanyak itu berkilauan dengan cantiknya di langit. Sumpahh gue berasa de javu ke konsernya Coldplay yang gue datengin beberapa waktu lalu. Saat konser, kita dikasi gelang yang bernama Xyloband yang dapat menyala dalam gelap saat lagu Coldplay di putar. Puluhan ribu orang yang memakai Xyloband dalam gelap itu nampak seperti ribuan bintang di langit kalau kata gue. 

Itu baru awal yah. Belum sampe di Kawah Ijen aja gue udah dibuat terpana dengan langit malamnya. Setelah puas memandangi cantiknya langit Banyuwangi, akhirnya gue dan rombongan tibalah di Pos Patulding sekitar jam 2. 

Keluar dari mobil, ternyata dingin banget. Badan gue agak kaget, secara celana jeans yang gue kenakan saat itu juga tipis. Kata guide yang menemani kami, untuk menuju Kawah Ijen dan Blue Fire baiknya memulai pendakian pukul 3 pagi. Total ada 3 guide yang menemani kami semua selama pendakian. Sebelum memulai pendakian, gue dan rombongan memutuskan untuk sarapan dulu untuk menambah tenaga. Sarapannya apalagi kalo bukan makanan terenak sejagad-raya : INDOMIE :DD

Setelah makan, pendakianpun dimulai. Oh iya, sekedar saran, sebelum mendaki ke Kawah Ijen lebih baik menuntaskan segala urusan yang berhubungan dengan pencernaanmu di toilet umum di pos bawah. Kecuali kalo elo emang mau buang air dengan cara "menyatu dengan alam"...

Here we go!!
Langit masi gelap banget. Beberapa dari kami dibekali senter untuk penerangan jalan. Perjalanan dari Pos Patulding ke Kawah Ijen berjarak sekitar 3Km. Awalnya gue berpikir: "Oh, cuma 3 Km". Tapi ternyataaa...........

Hahaha. Baik gue jabarkan. 
Sewaktu berada di pos pertama gak pernah terbayangkan kalau jalurnya bakal seterjal ini. Untuk pendaki pemula kayak gue, gue akui jalurnya lumayan berat. Total ada 5 pos yang kami lewati sebelum sampe di Ijen dengan lama pendakian sekitar 2 jam. 

Baru 5 menit berjalan, gue dan tim udah menemui medan tanjakan aja. Awalnya gue masih biasa, dan belum merasa berat banget. Menanjak, dan berbelok. Salahnya gue, sepatu yang gunakan adalah Wakai yang licin dan rawan kepleset. Gue memang membawa sandal gunung, tapi dengan PINTERNYA itu sandal gue tinggal di hotel :"")

Dari yang tadinya kami bertujuh barengan, akhirnya rombongannya terbagi menjadi 3 kloter. Kloter 1 terdiri atas Ibu bos, Mas Rifky, Mas Gita, Kang Ipe, dan Tika jalan di depan. Kloter 2 adalah gue dan bapak guide, dan kloter ketiga alias terakhir adalah Dini, Bu Jowvy, Ayin, dan bapak guide. Kloter 1 terdiri dari manusia-manusia yang udah khatam banget dalam olahraga outdoor. Gue? Meski gue lumayan rutin lari dan yoga, tapi ternyata itu gak berguna di sini.

Sepanjang perjalanan, mungkin belasan kali gue minta berhenti sama si bapak guide karena gue kelelahan. Tapi seperti kata Mbah Sudjiwo tedjo, Tuhan itu sungguh Maha Asyik, dibentangkannyalah jutaan bintang di langit sebagai bonus untuk teman perjalanan gue. Setiap kali gue lelah, gue langsung liat ke bintang. Seketika, bintang itu semacam memberi suntikan semangat buat gue. Gak tau kenapa. 

Di kloter belakang ada Dini, Bu Jowvy dan Ayin. Untuk Bu Jowvy, gue udah gak ragu dengan kemampuan nanjak beliau karena sudah malang melintang di dunia per-out-door-an. Kalau Ayin, anaknya Bu Jowvy, juga suka ikut ibunya berkegiatan outdoor. Sementara Dini, sahabat gue yang cantik jelita ini gue tau banget dia gak pernah punya pengalaman nanjak sama kayak gue. Ditambah anaknya juga males olahraga, dan dia selalu punya berjuta-juta alasan setiap kali gue ajakin Yoga atau lari. Hahaha

Mungkin biar perjalanan gak terasa berat ya, si bapak guidenya ngajakin gue ngomong terus. Tapi gak tau kenapa gue justru capek kalau nanjak sambil ngobrol. Energinya kebuang dua kali gitu, nanjak dan ngobrol. Akhirnya gue biarkan aja si bapak guide ini mendongengkan gue sepanjang perjalanan. Terima kasih atas niat baikmu, pak :"")

Ada satu yang menarik dari cerita si bapak guide ini. Jadi kata dia, untuk menjadi guide di sini gak boleh sembarangan. Dulu pernah, ada guide yang masih minim pengalaman dan dia membawa sepasang turis. Tiba-tiba diperjalanan kedua turis itu kepleset, yang cowok lehernya patah dan meninggal, dan yang cewek kakinya patah. Sejak saat itu, si guide itu gak diperbolehin lagi menjadi guide sampai kapanpun. Si bapak guide gue sendiri udah 13 tahun menjadi guide. 

Di perjalanan gue sempat berpapasan dengan beberapa pendaki lainnya. Kami saling sapa, dan sedikit mengobrol. Lewat pos 3, tanjakannya makin parah. Dan dramapun dimulai. Gue udah mau nangis karena saking gak kuat dan lelahnya. Gue makin sering berhenti di pinggir jalan. Energi gue bener-bener dikuras habis di pos ini. 

Masuk pos 4 jalanannya udah mulai datar. Tanjakannya ga separah pos 1, 2 dan 3. Sampai di pos terakhir adalah pos 5. Di sana sudah ada duluan rombongan kloter 1. Karena udah makin dekat kawah, masker pun sudah mulai harus dipasang. Setelah beristirahat sebentar, gue dan kloter 1 kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Gimana kabar kloter 3? Ntahlah, gue gak tau sama sekali kabar Dini. Mungkin Dini udah menyerah gak kuat dan kembali ke mobil. 

Pos 5 adalah pos terakhir menuju Kawah Ijen. Medan yang ditempuh dari Pos 5 menuju Kawah Ijen ternyata juga lumayan terjal. Di sisi kiri gue itu jurang, sumpah, itu ngeri banget kalo gak pakai senter. Bau belerangnya juga udah lumayan menyengat. Karena udah berada di ketinggian, oksigen pun menipis. Mendadak tiba-tiba penyakit sesak napas gue yang gak pernah kambuh hampir 5 tahun belakangan tiba-tiba muncul. Gue panik. Panik sepanik-paniknya karena susah bernapas. Gue cuma berdua doang dengan si bapak guide. Kalau masker gue lepas, bau belerang yang bakal kehirup sama gue. 

Karena semakin gue panik, sesak napas gue pun semakin menjadi-jadi. Akhirnya, gue mencoba untuk menenangkan diri gue. Gue pun minggir sebentar dan duduk, mencoba bernapas dengan normal dan pelan. Sambil baca-baca perlahan-lahan alhamdulillah pernapasan gue kembali normal. 

Setelah sesak napas gue perlahan hilang, gue melanjutkan pendakian menuju kawah Ijen yang udah tinggal sedikit lagi. Sampai di atas sana, rombongan kloter 1 udah tiba duluan. Kami tepat sampai di sana pukul jam 5 subuh. Mas Rifky, dan Kang Ipe langsung melaksanakan solat subuh dari Ijen. Alhamdulillah. Gue gak berhenti bersyukur ternyata gue bisa sampai di sini. 

Karena masih gelap, kawahnya belum terlalu keliatan. Kami berjalan-jalan sambil menunggu sunrise. Sayangnya, saat itu kami semua gak diperbolehkan ke bawah melihat blue fire karena kondisinya tidak memungkinkan. Kecewa sih, cuma ya daripada kenapa-kenapa, lebih baik memandang dari kejauhan aja. 

Di atas puncak, udaranya gak kalah dingin. Udah gak ada lagi hutan, yang ada tanjakan dengan jalan berpasir. Banyak penambang belerang yang mengangkut hasil tambangannya, dan ada juga yang menjualnya dalam bentuk souvenir. Gak kebayang mereka naik turun dengan membawa pecahan belerang dengan bakul di punggungnya. Tapi kata si bapak guide gue, secara tak kasat mata, pundak si para penambang itu "sudah diisi" biar mereka tidak merasa berat. Kalau gue gak salah, berat dua bakul belerang itu sekitar 80-85 kg. Pekerjaan mereka bertaruh nyawa sebenarnya, selain tidak menggunakan peralatan keamanan, setiap harinya mereka beresiko menghirup gas beracun. 

Rombongan kloter satu berjalan ke puncak lagi untuk menikmati sunrise. Kalau gue cukup memilih stay di puncak saja. Berdua dengan Kang Ipe gue jepret sana jepret sini. Gak henti-hentinya gue bersyukur karena gue bisa sampai ke sini. Bertambah lagi satu tempat yang indah di muka bumi ini yang berhasil gue kunjungi. 

di depan kawah ijen 







Lagi asik foto-foto, gak lama dari kejauhan gue melihat sesosok wanita bertubuh gempal dengan menggunakan parka merah yang berjalan tertatih-tatih. Dini!!! Itu Dini!!!! Kata gue dengan girangnyaaa. Akhirnya sahabat gue yang superajaib ini berhasil nyampe di puncak. Setelah tadinya gue gak percaya dia bisa sampai ke puncak, ternyata anggapan gue salah. Dengan ekspresi antara bahagia dan kelelahan, dia bilang kayak gini ke gue "Mut, otak sama kaki gue udah gak sinkron Mut karena saking capeknya," . Gue ngakak sejadi-jadinya waktu itu. Antara kasian, bahagia, dan rasanya bercampur jadi satu melihat sahabat gue yang satu ini. 

Kitapun foto-foto bertiga dengan Kang Ipe. Bapak yang satu ini emang konyol banget. Bisa banget menghibur kita yang lelah ini dengan tingkah lakunya. 





Puas foto-foto, gue, Dini dan Kang Ipe memutuskan untuk turun. Matahari juga semakin meninggi. Kenapa pas turun enak banget ketimbang nanjak? Tapi, karena gue menggunakan sepatu wakai, gue harus tetap berhati-hati biar gak kepleset. Pemandangan pas turun gak kalah cantik kok. Karena waktu mendaki masih sangat gelap kali ya, jadi gak keliatan hutan-hutan yang ada di kiri kanan gue.

Jam 9anan gue dan rombongan sampai di Pos Patulding. Teh manis anget dan pisang goreng sudah menyambut kami yang kelaperan. Setelah ngobrol-ngobrol setengah jam, gue dan rombongan kembali ke hotel, bersiap untuk check out dan kembali ke Jakarta.

Petualangan gue di Banyuwangi ditutup dengan pendakian ke Ijen ini. Kalo ditanya : Kapok gak naik gunung? Bukan kapok, tapi NAGIH. Hahaha gue emang telat banget anaknya. Ya, kadang emang lebih baik telat daripada enggak sama sekali. Sampai jumpa lagi di petualangan selanjutny yaa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Cewek Suka Lama Kalo Dandan?

Kaum pria di luar sana sudah semestinya paham mengapa setiap mau pergi entah itu pacaran atau hang out, wanita suka lama kalo dandan. Ada sekelumit 'ritual' yang harus dilalui oleh kaum wanita demi mendapatkan penampilan yang epik di mata dunia (kamu). Dan percayalah, itu gak mudah :') Kecuali kamu perempuan tomboy yang gak pernah berurusan dengan lipen, baju, gaya hijab, hingga alis, mungkin gak bakal mengalami hal-hal di bawah ini. Spesifically , gue yang wanita yang sangat menjunjung tinggi 5K (Kebersihan, Kerapian, Keindahan, Ketertiban dan Keamanan (?) , gue butuh waktu dua kali lebih lama untuk berdandan dibanding wanita normal pada umumnya. Kenapa? Mari gue jabarkan satu persatu ya saudara-saudara. Mandi Ritual umum yang dilakukan pertama kali adalah mandi seperti biasa. Mong omong, mandi versi gue itu terdiri atas 2 bagian : keramas dan gak. Kalo gue mau ketemuan sama gebetan biasanya gue keramas dulu lengkap dengan kondisyenernya biar ala-ala. Tapi kalo

Hal-Hal yang (Mungkin) Cuma Dialami Oleh Cewek Berwajah Jutek

Dianggap galak, judes, sombong, bahkan bengis... #wesbiyasa Punya muka berparas jutek dari lahir memang serba gak enak. Dibilang sombong, gak ramah, bahkan bengis. Gak jarang, muka yang jutek atau galak juga sering dijadikan sumber permasalahan mengapa gue masih menjomblo sampai sekarang. Padahal mah gak ada hubungannya juga dan emang belom ada aja yang pas di hati gue. Gak nyari juga sih, karena bukan itu prioritas hidup gue saat ini. *Apa salah Hayatiiii... Sempat terbersit pengen nyalahin bokap nyokap gue kenapa 'menciptakan' gue cetakannya begini. Tapi urung gue lakukan takut di cap anak durhaka :|. Mending kalo dikutuk jadi Chelsea Islan atau jadian sama Chris Martin gitu. Tapi kalo dikutuk jadi batu kaya Malin Kundang gimana? Kalau udah begini yaudah la ya, disyukuri saja setiap inchi apa yang sudah diberikan oleh Gusti Allah. Gitu aja kok repot, kata alm Gus Dur.  Selain dianggap galak, bengis dan sombong, berikut hal-hal apalagi yang sering dialami oleh perempuan be

Mou leípeis

..... Matamu apa kabar?  Masih teduh?  Sejujurnya aku rindu tatapan itu.  Tenang, dan dalam. Seperempat abad usiaku, belum pernah aku melihat mata setenang itu.  Punggungmu bagaimana? Masih sehangat dulu?  Aku pernah terlelap di sana.  Nyaman. Jakarta, 20 April 2017