Langsung ke konten utama

3.600 Jam

Hari itu pukul 10 malam.

Di pintu stasiun itu kita berdiri.

Terpaku.

Kamu berkata kepadaku kalau kamu harus buru-buru pulang, karena esok paginya kembali bekerja. 

Aku merajuk, memaksamu untuk tinggal menemaniku menikmati malam di negaramu lebih lama lagi.

Karena entah kapan semesta bisa mempertemukan kita lagi. 

Aku menatap matamu dan menggenggam tanganmu, sepanjang jalan itu.

"Setidaknya malam ini kau milikku," kataku egois.

Iya, malam ini saja.

Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan, belum tentu.

Aku meminta kamu untuk mengantarkanku pulang sampai ke depan hotel tempat aku bermalam.

"Udah, sendiri saja. Beranikan? Cuma tinggal ngikutin jalan yang sama seperti yang tadi kita berangkat kok", katamu.

Akhirnya aku mengalah.

Aku beranikan diri untuk pulang dengan kereta malam ini sendiri.

Jika aku nyasar di negaramu, toh aku masih bisa menghubungimu lagi. Pikirku. 

Tapi, ternyata itu isyarat dari kamu kalau tidak akan ada "kita" lagi setelah malam ini.

Kamu mengajarkan aku untuk "berani" sendiri, setidaknya mulai dari sekarang.

Kamupun beranjak pergi, dari belakang aku hanya bisa melihat punggungmu saja. 

Sweater hitam dengan lengan yang digulung, tas selempang yang berukuran kecil, dan sandal jepit.

Cuma itu yang kamu kenakan malam itu. 

Kamu masih tetap sesederhana, sama seperti pertama kali kita bertemu akhir tahun lalu. 

Dan pintu kereta akhirnya tertutup.

Akhirnya kita berpisah.

Benar-benar berpisah. 

Malam itu adalah malam terakhir aku melihat bola matamu. 

Mata yang coklat yang dibalut dengan bingkai kacamata hitam.

Malam terakhir aku melihat ekspresi lempengmu yang selalu berhasil meluluhkan keangkuhanku. 

Malam terakhir, aku mendengar kamu memanggil namaku. 

Malam yang menjadi akhir perjuanganku selama 3.600 jam menyelam di matamu.



Farrer Park
22.00




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Cewek Suka Lama Kalo Dandan?

Kaum pria di luar sana sudah semestinya paham mengapa setiap mau pergi entah itu pacaran atau hang out, wanita suka lama kalo dandan. Ada sekelumit 'ritual' yang harus dilalui oleh kaum wanita demi mendapatkan penampilan yang epik di mata dunia (kamu). Dan percayalah, itu gak mudah :') Kecuali kamu perempuan tomboy yang gak pernah berurusan dengan lipen, baju, gaya hijab, hingga alis, mungkin gak bakal mengalami hal-hal di bawah ini. Spesifically , gue yang wanita yang sangat menjunjung tinggi 5K (Kebersihan, Kerapian, Keindahan, Ketertiban dan Keamanan (?) , gue butuh waktu dua kali lebih lama untuk berdandan dibanding wanita normal pada umumnya. Kenapa? Mari gue jabarkan satu persatu ya saudara-saudara. Mandi Ritual umum yang dilakukan pertama kali adalah mandi seperti biasa. Mong omong, mandi versi gue itu terdiri atas 2 bagian : keramas dan gak. Kalo gue mau ketemuan sama gebetan biasanya gue keramas dulu lengkap dengan kondisyenernya biar ala-ala. Tapi kalo

Hal-Hal yang (Mungkin) Cuma Dialami Oleh Cewek Berwajah Jutek

Dianggap galak, judes, sombong, bahkan bengis... #wesbiyasa Punya muka berparas jutek dari lahir memang serba gak enak. Dibilang sombong, gak ramah, bahkan bengis. Gak jarang, muka yang jutek atau galak juga sering dijadikan sumber permasalahan mengapa gue masih menjomblo sampai sekarang. Padahal mah gak ada hubungannya juga dan emang belom ada aja yang pas di hati gue. Gak nyari juga sih, karena bukan itu prioritas hidup gue saat ini. *Apa salah Hayatiiii... Sempat terbersit pengen nyalahin bokap nyokap gue kenapa 'menciptakan' gue cetakannya begini. Tapi urung gue lakukan takut di cap anak durhaka :|. Mending kalo dikutuk jadi Chelsea Islan atau jadian sama Chris Martin gitu. Tapi kalo dikutuk jadi batu kaya Malin Kundang gimana? Kalau udah begini yaudah la ya, disyukuri saja setiap inchi apa yang sudah diberikan oleh Gusti Allah. Gitu aja kok repot, kata alm Gus Dur.  Selain dianggap galak, bengis dan sombong, berikut hal-hal apalagi yang sering dialami oleh perempuan be

Mou leípeis

..... Matamu apa kabar?  Masih teduh?  Sejujurnya aku rindu tatapan itu.  Tenang, dan dalam. Seperempat abad usiaku, belum pernah aku melihat mata setenang itu.  Punggungmu bagaimana? Masih sehangat dulu?  Aku pernah terlelap di sana.  Nyaman. Jakarta, 20 April 2017