Langsung ke konten utama

Belajar Hidup Sederhana Hingga ke Kaki Gunung Cikuray


Hidup itu sebenarnya murah, yang bikin mahal adalah biaya gengsinya. Beli handphone baru padahal yang lama masih berfungsi dengan baik hanya karena gak mau ketinggalan zaman. Beli baju di toko impor terus di-upload ke sosmed biar netyzen tau kalo dia abis belanja di sana. Nongkrong di coffeshop mahal terus lagi-lagi di-upload ke sosmed biar dikata asyique. Liburan tiap bulan demi mempercantik feeds instagram padahal liburannya ngutang. Sungguh ironi.

Makin kesini, gue makin berpikir apakah uang benar-benar bisa bikin kita bahagia? Bukankah rasa cukup dan bersyukur adalah awal dari kebahagiaan itu sendiri? Ketika gue punya uang, gue belanja ini itu awalnya gue emang merasa senang. Tapi udahannya gue nyesel, kenapa tadi gue beli ini barang ya? Padahal gue masih punya dan kondisinya masih bagus. Abisannya tinggal gue mengutuk dan menyesali diri gue di pojokan kamar. 

Kata orang, belajar bisa dari siapa aja. Gak harus sama profesor, guru besar, ilmuan, dosen atau guru. Liputan gue ke kaki gunung Cikuray, Garut beberapa waktu lalu membuat gue belajar tentang sebuah kesederhanaan. Tentang cara mensyukuri sesuatu yang kita punya, tentang percaya bahwa Tuhan menitipkan sejumlah rezki pada umatnya tidak pernah salah. Tentang bagaimana mencukupkan diri, terhadap apa yang kita punya. 

Sehari sebelum berangkat ke Cikuray, temen di kantor udah mewanti-wanti gue kalo di sana bakal dingin banget. Jadilah segala perlengkapan tempur seperti jaket, baju hangat, sleeping bag, kaos kaki, sarung tangan, hammock (?), sama sepatu sudah gue packing dengan rapi dalam keril. Tentu saja hampir semua itu adalah barang-barang pinjeman karena gue gak pernah naik gunung sama sekali. Setelah rapi packing dan nge-charge kamera, gue pun beranjak tidur. 

Ba'da jumat, gue dan tim berangkat menuju Cikuray menggunakan mobil kantor. Setelah mampir kesana kemari, sampailah gue di Cikuray tepatnya di Desa Cintanagara abis Isya gue lupa tepatnya jam berapa. Begitu keluar dari mobil, udara malam itu bukannya dingin banget. Beku, coy!! Karena gak kuat dinginnya, gue memutuskan untuk buru-buru masuk tenda.

Tujuan gue dan tim kesana adalah dalam rangka program CSR dari perusahaan tempat gue bekerja. Jadilah gue disana selama 3 hari 2 malam dan menginap di rumah warga desa. Gak usah membayangkan kalau gue bakal tidur di kasur yang empuk plus selimut, ya. Namanya juga numpang di rumah warga, jadi kita harus menerima apa saja yang sudah disediakan tuan rumah. Pemilik rumah, Kang Enceng dan istrinya sudah berbaik hati menyediakan ruang tamunya dan tikar untuk gue tidur, tinggal gue mengalasnya dengan sleeping bag. Setidaknya tidur di rumah jauh lebih hangat ketimbang tidur dalam tenda pleton. 

Rumah Kang Enceng sangat sederhana dan tidak terlalu besar. Cuma ada 2 kamar yang ditempati oleh Kang Enceng dan mertuanya. Tidak ada kursi di dalam rumahnya. Ruang tamu, ruang makan, dan ruang keluarga digabung menjadi satu. Lantainya juga beralaskan kayu. Televisi yang ada di rumah ini juga sangat jadul yaitu tv tabung. Bahkan selama gue di sana, gue gak pernah melihat tv ini menyala. 

Yang unik, kamar mandi di rumah Kang Enceng sengaja dibuat 'menyatu dengan alam' alias kebuka gitu aja. Sumpah yaa, gue agak gimanaa gitu dengan konsep kamar mandi yang kayak gini. wqwq bagian ini di-skip aja ya. 

Pagi-pagi sekali istrinya Kang Enceng sudah memasakkan sarapan buat kami. Pagi itu menu sarapan kami adalah gorengan dan teh hangat. Karena perut gue laper dan udaranya dingin banget, jadi ya ini gorengan rasanya berkali-kali lipat lebih nikmatttttt...Rasanya gue pengen mengucapkan ayat di surat Ar-rahman ayat 55.

Karena jadwal liputan masih lama, gue memutuskan buat jalan-jalan sendirian keliling kampung. Hari itu hari Sabtu. Biasanya kalo di Jakarta, anak-anak kecil di hari Sabtu sudah duduk manis nongkrong di depan tipi buat nonton film kartun. Atau yang lebih maju lagi ada anak-anak yang mengawali Sabtu mereka dengan merengek karena minta yutub-an atau main game di-gadget. Tapi di sini berbeda. Sabtu pagi mereka belum mandi, masih bau acem dan ingusan, mereka udah main tanah dan kejar-kejaran sama ayam. Mereka bahagia. Tanpa tv, tanpa gadget. 


my squad :D

the cimit's
Kebetulan gue bawa kamera, gue mengajak anak-anak tersebut untuk foto bareng sama gue. Awalnya mereka agak takut dan menjawab dengan bahasa Sunda yang gue gak paham. Tapi lama-lama mereka akhirnya mau foto bareng sama gue. Bahkan mereka nagih minta difoto. 

Mayoritas warga desa Cintanagara, Cikuray bermatapencaharian sebagai petani kebun. Beragam taneman tumbuh subur di kaki gunung tertinggi keempat di pulau Jawa ini. Mulai dari kentang, tomat, wortel, kembang kol, padi, cabai, bawang, jagung dan banyak lagi gue lupa. Tanah Cikuray ini tanah yang kaya. 

foto: Tri Widodo

foto: Tri Widodo

foto: Tri Widodo
Pagi-pagi sekali, para petani yang sebagian besar wanita ini sudah turun ke sawah mereka. Uniknya, meski ke hanya ke sawah, penampilan mereka cantik-cantik. Perempuan yang masih muda mengenakan celana jeans, baju yang bagus, bahkan ada yang mengenakan rok jeans yang dilapisi celana legging. Ibu-ibunya gak mau ketinggalan, mereka menggunakan baju batik setiap ke sawah. Mungkin ini cara mereka agar tetap bahagia saat bekerja di ladang. 

Tangan-tangan halus mereka menjadi kasar karena sering menggunakan cangkul. Punggung mereka gak jarang lelah karena sering membungkuk saat bekerja. Belum lagi mereka harus rela meninggalkan anak-anaknya saat bekerja di sawah. Sedihnya, menurut gue itu semua gak sebanding dengan upah yang mereka terima hanya Rp20 ribu per hari. Upah tersebut juga terkadang tidak dibayar tepat waktu, tergantung tuan tanah tempat mereka bekerja. Spontan gue bertanya "Emang segitu cukup, teh? "Selalu cukup aja, teh rejekinya. Dicukup-cukupin juga cukup", kata Teh Iin ke gue siang itu.

Teh Iin adalah salah satu petani perempuan di Cikuray. Usianya jauh lebih muda dari gue, yakni 21 tahun. Tapi dia udah menikah dan punya 1 anak. Katanya kalo di kampung, lulus SD atau SMP itu menikah adalah hal yang wajar. Jadi, gak heran perempuan-perempuan di sini masih muda sudah punya anak. 

Sejenak gue membayangkan kehidupan gue di Jakarta. Kotanya para zombie kalo kata seorang kawan kepada gue. Berangkat kerja pagi-pagi kena macet, pulang kerja malam-malam juga kena macet. Duit 20 rebu hanya bisa dipakai untuk sekali makan aja. Belum lagi transportasi, pulsa atau biaya gengsi. Mana cukup hidup 20rebu di Jakarta. 

Tapi bagi Teh Iin dan petani lainnya, uang 20ribu sudah cukup membuat mereka bahagia. Dengan 20ribu, dia sudah bisa memasak untuk anak dan suaminya. Bahkan mungkin masih ada sisanya yang bisa ia tabungkan. 

Dari sana gue menyadari bahwa semua itu kembali lagi ke diri kita masing-masing. Apakah kita mau terus-terusan hidup mengikuti nafsu hedonisme semata, atau belajar merasa cukup atas apa yang kita punya. Dari sana gue juga sadar, untuk berhenti mengeluh kepada Tuhan atas hidup yang kadang dirasa tak adil. Bahwa sekali lagi, urusan rezeki, kita harus percaya pada sang Illahi. 

Jadi, tidak perlu khawatir. Tuhan pasti cukupkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Cewek Suka Lama Kalo Dandan?

Kaum pria di luar sana sudah semestinya paham mengapa setiap mau pergi entah itu pacaran atau hang out, wanita suka lama kalo dandan. Ada sekelumit 'ritual' yang harus dilalui oleh kaum wanita demi mendapatkan penampilan yang epik di mata dunia (kamu). Dan percayalah, itu gak mudah :') Kecuali kamu perempuan tomboy yang gak pernah berurusan dengan lipen, baju, gaya hijab, hingga alis, mungkin gak bakal mengalami hal-hal di bawah ini. Spesifically , gue yang wanita yang sangat menjunjung tinggi 5K (Kebersihan, Kerapian, Keindahan, Ketertiban dan Keamanan (?) , gue butuh waktu dua kali lebih lama untuk berdandan dibanding wanita normal pada umumnya. Kenapa? Mari gue jabarkan satu persatu ya saudara-saudara. Mandi Ritual umum yang dilakukan pertama kali adalah mandi seperti biasa. Mong omong, mandi versi gue itu terdiri atas 2 bagian : keramas dan gak. Kalo gue mau ketemuan sama gebetan biasanya gue keramas dulu lengkap dengan kondisyenernya biar ala-ala. Tapi kalo

Hal-Hal yang (Mungkin) Cuma Dialami Oleh Cewek Berwajah Jutek

Dianggap galak, judes, sombong, bahkan bengis... #wesbiyasa Punya muka berparas jutek dari lahir memang serba gak enak. Dibilang sombong, gak ramah, bahkan bengis. Gak jarang, muka yang jutek atau galak juga sering dijadikan sumber permasalahan mengapa gue masih menjomblo sampai sekarang. Padahal mah gak ada hubungannya juga dan emang belom ada aja yang pas di hati gue. Gak nyari juga sih, karena bukan itu prioritas hidup gue saat ini. *Apa salah Hayatiiii... Sempat terbersit pengen nyalahin bokap nyokap gue kenapa 'menciptakan' gue cetakannya begini. Tapi urung gue lakukan takut di cap anak durhaka :|. Mending kalo dikutuk jadi Chelsea Islan atau jadian sama Chris Martin gitu. Tapi kalo dikutuk jadi batu kaya Malin Kundang gimana? Kalau udah begini yaudah la ya, disyukuri saja setiap inchi apa yang sudah diberikan oleh Gusti Allah. Gitu aja kok repot, kata alm Gus Dur.  Selain dianggap galak, bengis dan sombong, berikut hal-hal apalagi yang sering dialami oleh perempuan be

Mou leípeis

..... Matamu apa kabar?  Masih teduh?  Sejujurnya aku rindu tatapan itu.  Tenang, dan dalam. Seperempat abad usiaku, belum pernah aku melihat mata setenang itu.  Punggungmu bagaimana? Masih sehangat dulu?  Aku pernah terlelap di sana.  Nyaman. Jakarta, 20 April 2017