Langsung ke konten utama

Tidak Semua Anak Minang Terlahir Sebagai PNS

Selain berdagang, setiap bayi yang lahir di tanah Minang sepertinya ditakdirkan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menjadi pedagang dan PNS bagi orang Minang sudah seperti jalan Tuhan. Hukumnya fardu 'ain. Berpahala jika dijalankan, namun berdosa jika ditinggalkan. 

Maka celakalah anak minang seperti saya yang sama sekali tidak tertarik untuk menjadi keduanya. Saya justru lebih menyukai pekerjaan yang sifatnya dinamis seperti menjadi jurnalis. Saya suka menulis, saya suka jalan-jalan. Saya bukan tipikal manusia yang bisa bekerja diam di tempat. Bagi para jurnalis, ruang kerja kami dari segala penjuru. (cie e lah)

Jadi, pagi tadi ceritanya smartphone saya ramai dengan pesan whatsapp dari beberapa grup. Ada sebuah kementerian yang baru membuka lowongan kerja CPNS secara besar-besaran. Berbagai komen pun bersaut-sautan di grup whatsapp. Ada teman yang tertarik, ada juga yang tidak, seperti saya.  

Sebenarnya bukan saya tidak pernah mencoba mendaftar PNS, saya pernah kok. Sekitar 2 tahun lalu, tapi waktu itu saya daftarnya juga ogah-ogahan karena diminta sama mama. Takut dianggap anak durhaka, mau ndak mau saya coba demi bakti saya pada ibunda. Dan bisa ditebak, ya tentu saja ndak lolos. Sungguh Gusti Alloh Maha Tahu mana hambanya yang mau berusaha dan mana yang enggak :D

Dan ke-tidak-ingin-an saya menjadi PNS itu juga terbawa pada saat acara kumpul keluarga. Ceritanya Idul Fitri kemarin saya mendapat kesempatan pulang ke Padang. Berkumpullah saya dengan sanak saudara di rumah. Saudara yang belum tahu saya kerja dimana tiba-tiba basa-basi menanyakan. 

"Tia di Jakarta kerja di mana?" kata ibu X.
"Jurnalis, bu. Di Tem*o", kata saya. 
"Itu di mana ya? Kok gak jadi PNS?," kata ibu X itu lagi
"Gak minat, bu. hehe " Jawab saya. 

Kalo dia nanya lagi rasanya mau tak KEKEP mulutnyaa biar gak bawel. *Saya emang violence.

Ketika mendengar saya "cuma" seorang kuli tinta, si ibu X itu cuma melengos. Hina betul rasanya profesi jurnalis itu di mata dia. Hhahahahah. Ya ndak papa sih. Meminjam istilah keren saat ini, follow your passion. Kalau passion saya bukan di dunia PNS atau berdagang, moso ya mau dipaksakan. Bukankah pekerjaan paling menyenangkan di dunia ini adalah hobi yang dibayar?

Mereka gak tau aja, jadi seorang jurnalis itu banyak enaknya kok. Misalnya aja nih ya, saya bisa jalan-jalan ke berbagai tempat yang belum pernah saya datangin secara gratis. Dua puluh lima tahun usia saya, setidaknya saya sudah menapakkan kaki saya di satu kota setiap pulau besar yang ada di Endonesa. Saya juga bisa bebas bertemu orang-orang penting di negara ini setiap harinya tanpa harus melewati tetek bengek protokoler yang ribet. Makan siang bareng menteri, dirut itu udah biyasa. Liputan saya juga enal, gak harus panas-panasan. Plus lingkungan kerja saya selalu baru setiap harinya dan tidak pernah membosankan. Gimana? Ena kan? 

Beberapa teman se-perantauan saya yang dari Padang ada yang sukses menjadi PNS di sini. Ya, memang saya akui secara materi mereka jauh di atas saya. Kalau mereka memang passionnya berkarir menjadi PNS juga ndak saya salahkan. Tapi, kembali lagi. Bukan itu yang saya cari. Toh hidup ndak melulu soal duit, kan?

Jadi, bukannya saya mau melawan Tuhan yang menciptakan anak Minang lengkap dengan jalan hidup menjadi PNS. Saya hanya ingin menjadi apa yang saya inginkan. Bukan karena yang mereka inginkan, atau siapapun inginkan. Toh yang menjalani hidup ini saya sendiri :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Cewek Suka Lama Kalo Dandan?

Kaum pria di luar sana sudah semestinya paham mengapa setiap mau pergi entah itu pacaran atau hang out, wanita suka lama kalo dandan. Ada sekelumit 'ritual' yang harus dilalui oleh kaum wanita demi mendapatkan penampilan yang epik di mata dunia (kamu). Dan percayalah, itu gak mudah :') Kecuali kamu perempuan tomboy yang gak pernah berurusan dengan lipen, baju, gaya hijab, hingga alis, mungkin gak bakal mengalami hal-hal di bawah ini. Spesifically , gue yang wanita yang sangat menjunjung tinggi 5K (Kebersihan, Kerapian, Keindahan, Ketertiban dan Keamanan (?) , gue butuh waktu dua kali lebih lama untuk berdandan dibanding wanita normal pada umumnya. Kenapa? Mari gue jabarkan satu persatu ya saudara-saudara. Mandi Ritual umum yang dilakukan pertama kali adalah mandi seperti biasa. Mong omong, mandi versi gue itu terdiri atas 2 bagian : keramas dan gak. Kalo gue mau ketemuan sama gebetan biasanya gue keramas dulu lengkap dengan kondisyenernya biar ala-ala. Tapi kalo

Hal-Hal yang (Mungkin) Cuma Dialami Oleh Cewek Berwajah Jutek

Dianggap galak, judes, sombong, bahkan bengis... #wesbiyasa Punya muka berparas jutek dari lahir memang serba gak enak. Dibilang sombong, gak ramah, bahkan bengis. Gak jarang, muka yang jutek atau galak juga sering dijadikan sumber permasalahan mengapa gue masih menjomblo sampai sekarang. Padahal mah gak ada hubungannya juga dan emang belom ada aja yang pas di hati gue. Gak nyari juga sih, karena bukan itu prioritas hidup gue saat ini. *Apa salah Hayatiiii... Sempat terbersit pengen nyalahin bokap nyokap gue kenapa 'menciptakan' gue cetakannya begini. Tapi urung gue lakukan takut di cap anak durhaka :|. Mending kalo dikutuk jadi Chelsea Islan atau jadian sama Chris Martin gitu. Tapi kalo dikutuk jadi batu kaya Malin Kundang gimana? Kalau udah begini yaudah la ya, disyukuri saja setiap inchi apa yang sudah diberikan oleh Gusti Allah. Gitu aja kok repot, kata alm Gus Dur.  Selain dianggap galak, bengis dan sombong, berikut hal-hal apalagi yang sering dialami oleh perempuan be

Mou leípeis

..... Matamu apa kabar?  Masih teduh?  Sejujurnya aku rindu tatapan itu.  Tenang, dan dalam. Seperempat abad usiaku, belum pernah aku melihat mata setenang itu.  Punggungmu bagaimana? Masih sehangat dulu?  Aku pernah terlelap di sana.  Nyaman. Jakarta, 20 April 2017