Saya pernah mengalami depresi. Saya tidak akan malu mengakuinya. Kejadian itu saya alami kurang lebih tiga tahun lalu, dan alhamdulillah saya berhasil melaluinya dan tidak sampai bunuh diri.
Tapi di sini saya tidak akan menyalahkan jiwa-jiwa suci yang depresi dan memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mereka hanya bingung, dan tak tahu harus mengadu kemana. Saya tahu betul apa yang mereka rasa, mungkin saya hanya lebih beruntung dari mereka karena saya berhasil melewati masa-masa itu.
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi siapapun pembaca blog saya (kayak ada aja yang baca), bahwa depresi itu bisa hilang kalau kita mau melepaskannya. Semoga jiwa-jiwa yang rapuh bisa kembali tangguh, hati yang rusuh bisa kembali utuh, dan jenuhnya pergi menjauh.
foto: Meutia Febrina |
Tapi di sini saya tidak akan menyalahkan jiwa-jiwa suci yang depresi dan memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mereka hanya bingung, dan tak tahu harus mengadu kemana. Saya tahu betul apa yang mereka rasa, mungkin saya hanya lebih beruntung dari mereka karena saya berhasil melewati masa-masa itu.
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi siapapun pembaca blog saya (kayak ada aja yang baca), bahwa depresi itu bisa hilang kalau kita mau melepaskannya. Semoga jiwa-jiwa yang rapuh bisa kembali tangguh, hati yang rusuh bisa kembali utuh, dan jenuhnya pergi menjauh.
Sejatinya, manusia hanyalah pembuat rencana. Kita bisa saja mengetik berlembar-lembar di microsoft word daftar target atau mimpi yang ingin dicapai. Kita bisa jumawa kalau kita mampu mewujudkan semua rencana. Tapi, kadang kita lupa. Di balik rapihnya daftar target yang kita susun tersebut, tetap ada Tuhan, Sang Pengatur Jalannya Semesta.
Cerita bermula pada perkenalan saya dengan seorang pria, sebut saja namanya X. Usianya terpaut 2 tahun di atas saya. Kami satu profesi, dan dari sanalah kami bertemu. Intensintas pertemuan yang lumayan sering membuat saya jatuh hati dengan sosok lelaki ini. Di mata saya, dia adalah lelaki yang pintar, pekerja keras dan sayang dengan ibunya.
Dari awal kenal, kami tidak pernah ada kata 'pacaran'. Rasanya saya ndak pantas aja di usia yang udah seperempat abad ini masih mengikuti alur 'ditembak-aku pikir dulu-kasi waktu sampe seminggu- pedahal jawabannya saya mau tapi diulur biar kesannya gak jual murah. Saya sudah pensiun dari alur itu.
Singkat cerita, kami saling mengenal hingga berencana untuk menikah. Sederet planning telah disusun dengan amat sangat rapih. Dari perkenalan keluarga hingga, tabungan bersama sudah kami tetapkan. Tapi ternyata kami terlalu terburu-buru dan jumawa. Sampai akhirnya semuanya berantakan dan niat baik itu tidak terlaksana karena dia telah berkhianat.
Sedih? Sudah pasti. Sakit? Jangan ditanya. Kalau mengutip kalimat dari penulis idola saya, Mbak Nendra Rengganis, lebamnya sampai ke tulang belikat. Kebayangkan rasanya?
Setelah kejadian itu saya depresi. Saya menangis setiap malam selama berhari-hari. Sakit hati, kecewa, hancur dan malu. Bahkan saya sampai memotong habis rambut saya yang saat itu sedang bagus-bagusnya karena saya sudah tidak peduli dengan diri saya. Semua itu makin diperparah dengan ketidakstabilan keuangan akibat perusahaan tempat saya bekerja hampir kolaps. Semuanya bercampur menjadi satu. Dan saya merasa benar-benar sendiri.
Pada titik itu, saya merasa tidak ada satupun orang yang bisa saya percayai. Tidak satupun. Mungkin orang berpikir " yaelah, cuma gara-gara cowok doang kenapa segitunya". Tapi percayalah, kata-kata ini sungguh mengandung racun bagi saya.
Ketika ada orang lain yang bisa baik-baik saja saat rencana pernikahannya batal, kita tidak bisa menyalahkan mereka yang hampir bunuh diri ketika dirundung masalah yang sama. Kita tidak pernah tahu persis bagaimana kondisi kejiwaan orang tersebut, masalah yang tengah mereka hadapi, dan seberapa berat beban yang dirasakan.
Mungkin kita lupa, ada beberapa kasus depresi yang berujung bunuh diri yang banyak terjadi disekitar kita. Bukan tentang seberapa ringan atau berat masalah yang dimiliki seseorang, tapi ini semua adalah tentang kadar kesiapan mental seseorang ketika ditempa sebuah masalah yang pelik.
Masih ingat pesepakbola Robert Enke mengalami depresi karena kehilangan buah hatinya dan tekanan yang hebat sewaktu menjadi kiper? Ia depresi hingga memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan diri di jalur kereta dekat rumahnya di kawasan Neustadt am Rubenberge. Diva Amy Winehouse mengalami depresi hingga bunuh diri karena overdosis Vodka. Musisi Kurt Cobain depresi karena bingung menghadapi ketenarannya dan memutuskan menembak kepalanya sendiri dengan pistol. Dan yang masih hangat, 2017 ditutup dengan pilu oleh kasus bunuh diri anggota boyband SHINee, Jonghyun. Ia depresi karena cemas akan kelangsungan karirnya dan akhirnya memilih untuk bunuh diri.
Jika dilihat, benang merah dari semua kasus depresi yang berujung bunuh diri ini adalah mereka butuh didengar. Mereka mengalami masa-masa gamang yang tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sebagai seorang yang terkenal, kaya dan bergelimang harta, orang menganggap hidup mereka seakan tidak ada cacatnya. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya jika depresi datang tanpa pandang status. Mau itu artis, dosen, atlet, mahasiswa, siapapun rentan terkena depresi.
Padahal, mereka butuh teman untuk berbagi. Teman untuk mendengar kesakitan yang mereka rasa. Teman untuk menumpahkan emosi mereka. Teman untuk meringankan beban di hati mereka. Itu saja.
Lalu bagaimana saya bisa bisa lepas dari depresi? Sejujurnya itu tidaklah mudah. Ada waktu yang harus saya relakan terbuang untuk keluar dari depresi. Ada airmata tentunya yang tidak bisa saya hitung jumlahnya. Tapi saya menikmati itu semua. Karena saya sadar, semua ini hanyalah masalah proses.
Hal pertama yang saya lakukan untuk lepas dari depresi memang harus diniatkan dari diri sendiri. "Gue gak mungkin kayak gini terus". Kata saya pada malam itu. Malam itu juga saya putuskan untuk menangis sejadi-jadinya, tapi untuk yang terakhir kalinya. Hasilnya? Lega :)
Kedua adalah berdamai dengan diri sendiri. Kalimat ini mungkin udah sering kita dengar, dan sangat gampang diucapkan. Tapi implementasinya, subhannallah :))))))... Sungguh tiada kata di KBBI yang bisa saya pakai untuk mengekspresikannya. Bagaimana caranya berdamai dengan diri sendiri? Yang saya lakukan saat itu adalah menerima kenyataan yang ada. Menerima baik-baik bahwa dia bukan takdir saya, menerima keadaan kalau semuanya sudah tidak seperti dulu. Di masa inilah proses pendewasaan saya diuji. Sumpah, ini gak gampang.
Ketiga adalah memaafkan orang yang sudah menyakiti kita. Ini juga bukan perkara mudah, karena mungkin saja masih ada ingatan-ingatan buruk yang membekas. Tapi bukan berarti kita justru terus hanyut di dalamnya.
Keempat adalah saya memutuskan untuk resign. Lingkungan kerja saya yang sama dengan dia memungkinkan kami akan terus bertemu setiap hari. Saya memutuskan untuk mencari pekerjaan baru, dan memulai kehidupan baru. Sungguh Tuhan Maha Baik, dia memberi jalan buat saya untuk pindah ke kantor yang baru.
Kelima, lakukan kegiatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Dari poin satu sampai empat, mungkin ini proses yang paling saya nikmati. Dulu saya selalu gak PD kalau kemana-kemana sendiri. Sayapun memberanikan diri untuk lari pagi sendiri. Awalnya terasa aneh. Melihat orang lari pagi bersama keluarga atau teman, tapi saya melakukannya sendiri. Meski tidak cuma saya saja yang begitu, tapi saya tetap merasa tidak terbiasa. Saya juga menyibukkan diri dengan mencoba mengikuti kelas Karate yang disediakan oleh kantor. Dua puluh lima tahun usia saya, saya belum pernah mengikuti kelas bela diri. Berat memang awalnya. Tapi saya sangat menikmatinya. Rasanya semacam pelarian, tapi pelarian yang menyenangkan.
Terakhir, bercerita kepada sahabat. Saya adalah tipikal orang yang gemar bercerita. Beruntung, di kantor yang baru saya memiliki sahabat yang baik hati, cantik dan lucu yang selalu mau mendengar semua cerita sampah saya. Dia yang selalu memberi semangat kepada saya, dia yang selalu membalas whatsapp saya tengah malam sekalipun. (Hahaha kalo si ibu itu baca dia bisa GR nih!). Tapi apapun itu, sedikit banyak perempuan ini menjadi salah satu penyembuh saya saat saya depresi.
Dari semua itu, adalah hal yang lebih penting melibatkan Tuhan di dalam proses ini. Semua ini tidak akan bisa saya lalui tanpa campur tanganNya. Saya bersyukur sudah melewati masa-masa itu. Saya sudah pernah merasakan patah hati paling parah sepanjang 25 tahun usia saya. Semuanya membuat saya jauh lebih kuat.
Sejatinya, tidak ada orang yang ingin depresi. Begitu juga tidak ada orang yang ingin bunuh diri. Kami yang depresi jangan dimarahi, apalagi sampai dicaci maki. Tapi kami butuh ditemani, dimengerti dan yang paling penting, kami butuh dicintai.
Dari saya,
Jakarta, 9 Januari 2018
Dari awal kenal, kami tidak pernah ada kata 'pacaran'. Rasanya saya ndak pantas aja di usia yang udah seperempat abad ini masih mengikuti alur 'ditembak-aku pikir dulu-kasi waktu sampe seminggu- pedahal jawabannya saya mau tapi diulur biar kesannya gak jual murah. Saya sudah pensiun dari alur itu.
Singkat cerita, kami saling mengenal hingga berencana untuk menikah. Sederet planning telah disusun dengan amat sangat rapih. Dari perkenalan keluarga hingga, tabungan bersama sudah kami tetapkan. Tapi ternyata kami terlalu terburu-buru dan jumawa. Sampai akhirnya semuanya berantakan dan niat baik itu tidak terlaksana karena dia telah berkhianat.
Sedih? Sudah pasti. Sakit? Jangan ditanya. Kalau mengutip kalimat dari penulis idola saya, Mbak Nendra Rengganis, lebamnya sampai ke tulang belikat. Kebayangkan rasanya?
Setelah kejadian itu saya depresi. Saya menangis setiap malam selama berhari-hari. Sakit hati, kecewa, hancur dan malu. Bahkan saya sampai memotong habis rambut saya yang saat itu sedang bagus-bagusnya karena saya sudah tidak peduli dengan diri saya. Semua itu makin diperparah dengan ketidakstabilan keuangan akibat perusahaan tempat saya bekerja hampir kolaps. Semuanya bercampur menjadi satu. Dan saya merasa benar-benar sendiri.
Pada titik itu, saya merasa tidak ada satupun orang yang bisa saya percayai. Tidak satupun. Mungkin orang berpikir " yaelah, cuma gara-gara cowok doang kenapa segitunya". Tapi percayalah, kata-kata ini sungguh mengandung racun bagi saya.
Ketika ada orang lain yang bisa baik-baik saja saat rencana pernikahannya batal, kita tidak bisa menyalahkan mereka yang hampir bunuh diri ketika dirundung masalah yang sama. Kita tidak pernah tahu persis bagaimana kondisi kejiwaan orang tersebut, masalah yang tengah mereka hadapi, dan seberapa berat beban yang dirasakan.
Mungkin kita lupa, ada beberapa kasus depresi yang berujung bunuh diri yang banyak terjadi disekitar kita. Bukan tentang seberapa ringan atau berat masalah yang dimiliki seseorang, tapi ini semua adalah tentang kadar kesiapan mental seseorang ketika ditempa sebuah masalah yang pelik.
Masih ingat pesepakbola Robert Enke mengalami depresi karena kehilangan buah hatinya dan tekanan yang hebat sewaktu menjadi kiper? Ia depresi hingga memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan diri di jalur kereta dekat rumahnya di kawasan Neustadt am Rubenberge. Diva Amy Winehouse mengalami depresi hingga bunuh diri karena overdosis Vodka. Musisi Kurt Cobain depresi karena bingung menghadapi ketenarannya dan memutuskan menembak kepalanya sendiri dengan pistol. Dan yang masih hangat, 2017 ditutup dengan pilu oleh kasus bunuh diri anggota boyband SHINee, Jonghyun. Ia depresi karena cemas akan kelangsungan karirnya dan akhirnya memilih untuk bunuh diri.
Jika dilihat, benang merah dari semua kasus depresi yang berujung bunuh diri ini adalah mereka butuh didengar. Mereka mengalami masa-masa gamang yang tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sebagai seorang yang terkenal, kaya dan bergelimang harta, orang menganggap hidup mereka seakan tidak ada cacatnya. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya jika depresi datang tanpa pandang status. Mau itu artis, dosen, atlet, mahasiswa, siapapun rentan terkena depresi.
Padahal, mereka butuh teman untuk berbagi. Teman untuk mendengar kesakitan yang mereka rasa. Teman untuk menumpahkan emosi mereka. Teman untuk meringankan beban di hati mereka. Itu saja.
Lalu bagaimana saya bisa bisa lepas dari depresi? Sejujurnya itu tidaklah mudah. Ada waktu yang harus saya relakan terbuang untuk keluar dari depresi. Ada airmata tentunya yang tidak bisa saya hitung jumlahnya. Tapi saya menikmati itu semua. Karena saya sadar, semua ini hanyalah masalah proses.
Hal pertama yang saya lakukan untuk lepas dari depresi memang harus diniatkan dari diri sendiri. "Gue gak mungkin kayak gini terus". Kata saya pada malam itu. Malam itu juga saya putuskan untuk menangis sejadi-jadinya, tapi untuk yang terakhir kalinya. Hasilnya? Lega :)
Kedua adalah berdamai dengan diri sendiri. Kalimat ini mungkin udah sering kita dengar, dan sangat gampang diucapkan. Tapi implementasinya, subhannallah :))))))... Sungguh tiada kata di KBBI yang bisa saya pakai untuk mengekspresikannya. Bagaimana caranya berdamai dengan diri sendiri? Yang saya lakukan saat itu adalah menerima kenyataan yang ada. Menerima baik-baik bahwa dia bukan takdir saya, menerima keadaan kalau semuanya sudah tidak seperti dulu. Di masa inilah proses pendewasaan saya diuji. Sumpah, ini gak gampang.
Ketiga adalah memaafkan orang yang sudah menyakiti kita. Ini juga bukan perkara mudah, karena mungkin saja masih ada ingatan-ingatan buruk yang membekas. Tapi bukan berarti kita justru terus hanyut di dalamnya.
Keempat adalah saya memutuskan untuk resign. Lingkungan kerja saya yang sama dengan dia memungkinkan kami akan terus bertemu setiap hari. Saya memutuskan untuk mencari pekerjaan baru, dan memulai kehidupan baru. Sungguh Tuhan Maha Baik, dia memberi jalan buat saya untuk pindah ke kantor yang baru.
Kelima, lakukan kegiatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Dari poin satu sampai empat, mungkin ini proses yang paling saya nikmati. Dulu saya selalu gak PD kalau kemana-kemana sendiri. Sayapun memberanikan diri untuk lari pagi sendiri. Awalnya terasa aneh. Melihat orang lari pagi bersama keluarga atau teman, tapi saya melakukannya sendiri. Meski tidak cuma saya saja yang begitu, tapi saya tetap merasa tidak terbiasa. Saya juga menyibukkan diri dengan mencoba mengikuti kelas Karate yang disediakan oleh kantor. Dua puluh lima tahun usia saya, saya belum pernah mengikuti kelas bela diri. Berat memang awalnya. Tapi saya sangat menikmatinya. Rasanya semacam pelarian, tapi pelarian yang menyenangkan.
Terakhir, bercerita kepada sahabat. Saya adalah tipikal orang yang gemar bercerita. Beruntung, di kantor yang baru saya memiliki sahabat yang baik hati, cantik dan lucu yang selalu mau mendengar semua cerita sampah saya. Dia yang selalu memberi semangat kepada saya, dia yang selalu membalas whatsapp saya tengah malam sekalipun. (Hahaha kalo si ibu itu baca dia bisa GR nih!). Tapi apapun itu, sedikit banyak perempuan ini menjadi salah satu penyembuh saya saat saya depresi.
Dari semua itu, adalah hal yang lebih penting melibatkan Tuhan di dalam proses ini. Semua ini tidak akan bisa saya lalui tanpa campur tanganNya. Saya bersyukur sudah melewati masa-masa itu. Saya sudah pernah merasakan patah hati paling parah sepanjang 25 tahun usia saya. Semuanya membuat saya jauh lebih kuat.
Sejatinya, tidak ada orang yang ingin depresi. Begitu juga tidak ada orang yang ingin bunuh diri. Kami yang depresi jangan dimarahi, apalagi sampai dicaci maki. Tapi kami butuh ditemani, dimengerti dan yang paling penting, kami butuh dicintai.
Dari saya,
Jakarta, 9 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar