foto: shutterstock |
"Bahagia Seharusnya Nyata". Begitu judul berita yang gue baca dari situs berita idola gue, Tirto.id beberapa waktu lalu. Berita yang berformat infografis itu mengutip perkataan Direktur Center for Cognitive & Social Neuroscience John Cacioppo, bahwa pada dasarnya internet tidak akan bisa menggantikan kehampaan akan sesuatu yang nyata. Bahagia yang sebenarnya adalah bukan di dunianya si maya.
Di era sosial media ini, setiap manusia punya kuasa untuk membagikan apapun yang terjadi di kehidupannya. Dan mereka cenderung membagikan hal yang indah-indah saja di kehidupannya. Sosial media membingkai hidup manusia seolah-olah sempurna. Padahal.....
Padahal kita semua tahu, Tuhan menggariskan kehidupan manusia itu gak selalu bahagia. Ada sedih, kecewa, hancur, kesal, emosi, puas, kenyang, letih, pusing, dan berbagai macam rasa lainnya.
Gue mengambil contoh media sosial idola kids zaman now, yakni Instagram. Di sana kita mudah banget menemukan orang-orang yang hidupnya 'enak'. Jalan-jalan keluar negeri, tenar, diendorse produk mahal, nongkrong di tempat-tempat keren, belanja kosmetik mahal, liburan tiap bulan, dan masih banyak lagi.
Padahal nih ya, kalau saja kita mau sedikit realistis, apa yang kita lihat di sosial media itu sebenarnya belum tentu 100 persen benar. Siapa tau, si orang ini harus ngutang demi liburannya, atau si orang ini harus membayar tagihan kartu kredit yang gak sedikit demi bisa nongkrong cantik, atau membeli kosmetik. Siapa tau?
Jadi, jangan cepat terpengaruh oleh ilusi yang ditampilkan di sosial media,karena kita bisa tersiksa. Kita tidak perlu mengabarkan orang-orang di dunia maya kalau kita bahagia. Karena bahagia seharusnya nyata, bukan di dunianya si maya.
Komentar
Posting Komentar