Hari itu pukul 10 malam.
Di pintu stasiun itu kita berdiri.
Terpaku.
Kamu berkata kepadaku kalau kamu harus buru-buru pulang, karena esok paginya kembali bekerja.
Aku merajuk, memaksamu untuk tinggal menemaniku menikmati malam di negaramu lebih lama lagi.
Karena entah kapan semesta bisa mempertemukan kita lagi.
Aku menatap matamu dan menggenggam tanganmu, sepanjang jalan itu.
"Setidaknya malam ini kau milikku," kataku egois.
Iya, malam ini saja.
Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan, belum tentu.
Aku meminta kamu untuk mengantarkanku pulang sampai ke depan hotel tempat aku bermalam.
"Udah, sendiri saja. Beranikan? Cuma tinggal ngikutin jalan yang sama seperti yang tadi kita berangkat kok", katamu.
Akhirnya aku mengalah.
Aku beranikan diri untuk pulang dengan kereta malam ini sendiri.
Jika aku nyasar di negaramu, toh aku masih bisa menghubungimu lagi. Pikirku.
Tapi, ternyata itu isyarat dari kamu kalau tidak akan ada "kita" lagi setelah malam ini.
Kamu mengajarkan aku untuk "berani" sendiri, setidaknya mulai dari sekarang.
Kamupun beranjak pergi, dari belakang aku hanya bisa melihat punggungmu saja.
Sweater hitam dengan lengan yang digulung, tas selempang yang berukuran kecil, dan sandal jepit.
Cuma itu yang kamu kenakan malam itu.
Kamu masih tetap sesederhana, sama seperti pertama kali kita bertemu akhir tahun lalu.
Dan pintu kereta akhirnya tertutup.
Akhirnya kita berpisah.
Benar-benar berpisah.
Malam itu adalah malam terakhir aku melihat bola matamu.
Mata yang coklat yang dibalut dengan bingkai kacamata hitam.
Malam terakhir aku melihat ekspresi lempengmu yang selalu berhasil meluluhkan keangkuhanku.
Malam terakhir, aku mendengar kamu memanggil namaku.
Malam yang menjadi akhir perjuanganku selama 3.600 jam menyelam di matamu.
Farrer Park
22.00
Komentar
Posting Komentar