"Setiap manusia menghadapi kehilangan dengan cara yang berbeda-beda” begitu kutipan yang pernah dibaca Risa dari novel kesukaannya Critical eleven pada halaman 64.
Malam itu tepat pukul 01.00 WIB. Kepala Risa masih menunduk di atas bantal. Matanya sembab, napasnya terengah-engah karena menangis. Ini sudah bulan ke-5 ia begitu. Terbangun tengah malam, menangis, memikirkan, sefatal apa kesalahan yang ia perbuat sampai orang yang begitu ia cintai memilih untuk pergi. Setiap malam, seakan sudah menjadi ritual. Begitulah cara Risa menghadapi kehilangan.
** April 2014
*Cling” sebuah pesan whatsapp dari unknown number masuk ke ponselnya Risa.
“Hei Ris,” isi pesan Whatsapp tersebut. Risa tak langsung membalas. Ia hanya menatap sekilas layar i Phonenya kemudian kembali mengetik. Deadline tulisan untuk majalahnya jauh lebih penting ketimbang membalas pesan tersebut.
Dua jam kemudian, Risa baru membalas isi pesan tersebut. Iamenulis dengan singkat, padat dan jelas : Siapa ya? “Arya, ris,” kita yang kenalan tadi waktu liputan di Gedung DPR tadi.
“Oh,” balas Risa singkat. Begitulah asal mula perkenalan Risa dengan Arya pada awal April 2014 lalu.
Arya Fihat, jurnalis salah satu surat kabar ekonomi yang saat ini sudah resmi menjadi ‘partnernya’. Kenapa partner? Ketimbang pacar, Risa dan Arya lebih nyaman menyebut hubungan mereka ini dengan kata ‘partner’.
Arya adalah pria introvert dengan tinggi 175cm, berambut lurus dan berkulit sawo matang. Arya merupakan pria paling sederhana yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Ia mengajarkan Risa untuk berbahagia dan melihat dunia dengan cara yang sederhana. Bahwa kebahagiaan sejatinya bukan dari materi, tapi mencukupkan diri dan menghargai apa yang kita punya.
Pekerjaan Risa dan Arya yang sama-sama seorang jurnalis membuat mereka saling klop. Mereka berbeda jobdesk. Risa adalah wartawan yang sering meliput tentang dunia perpolitikan di Indonesia, sementara Arya adalah jurnalis yang sehari-harinya meliput di desk ekonomi. Tidak heran, keduanya sama-sama punya banyak hal yang menarik untuk diceritakan saat bertemu.
Mereka juga memiliki hobi yang sama yaitu jalan-jalan. Akhir pekan sering dihabiskan oleh mereka pergi ke gunung, sungai,taman, danau ataupun pantai. Arya suka gunung dan suka udara dingin. Sementara Risa justru tidak suka gunung. Ia lebih suka hangatnya pasir pantai, laut, bau garam, dan senja.
“Alasannya simpel, aku ndak kuat nanjak,” ujar Risa waktu itu.
Pernah suatu ketika, Risa diajak mendaki bukit dengan berjalan kaki untuk menuju sebuah wisata air terjun di daerah Bogor. Jalanannya menanjak dan penuh bebatuan. Risa rasanya mau pingsan.
“Ayo Risa. Kamu bisa kok. Udah mau sampe. Itu dikit lagi itu air terjunnya udah kelihatan,” ujar Arya mencoba menghibur sambil mengulurkan tangannya.
Padahal Risa tahu betul, sebenarnya perjalanan mereka masih lumayan jauh. Tapi ia berusaha untuk tidak menyerah karena ada Arya yang selalu menyemangatinya, yang mengulurkan lengannya.
** Maret 2016 Taman Suropati Jakarta pukul 19.00 WIB.
Mereka berdua terduduk, yang satu menyerah, yang satu mempertahankan mati-matian. Ya, keduanya sudah tak sejalan lagi. Entah apa yang membuat Arya mengatakan kalimat ini. Kalimat yang mengubah hidup Risa selamanya.
“Gue gak bahagia sama elo, Ris” ucap Arya malam itu.
Singkat, hanya lima kata. Tapi sangat membuat Risa terpukul. Risa tidak tahu mengapa alasannya ia ditinggalkan hanya karena alasan Arya tidak bahagia dengan dia. Risapun pergi, tanpa mengucap satu katapun. Mereka berpisah.
** Jumat, 6 Agustus 2015
Malam ini Risa kembali terbangun. Tapi ia sudah tidak menangis lagi. Ia jauh lebih tabah dari malam-malam sebelumnya. Kali ini ia memilih menghadapi kehilangan dengan cara berbeda, yaitu menghadapinya.
** Rabu, 4 Januari 2017
Satu tahun berlalu. Semesta berkonspirasi mempertemukan mereka di sebuah acara pernikahan teman Risa. Risa sudah tahu bahwa bakal ada Arya di pesta ini karena dia juga kenal dengan si pengantin. Awalnya ia memang enggan untuk menghadirinya, namun ia kadung sudah janji sama si empunya acara yang notabene salah satu kawan baik Risa.
Benar saja, ketika sedang mengambil minuman, sebuah suara yang sudah ia hapal betul memanggil namanya dari belakang. “Risa,” ujar si pemilik suara.
Suara yang pernah setiap malam menjadi suara paling favorit yang ia dengar sebelum tidur. Suara milik seorang pria yang pernah menjanjikan akan menua bersamanya dengan cara yang sederhana. Dulu. Risa berbalik dan berusaha menata ekspresi setenang mungkin. Ia memberikan senyuman termanis yang ia punya, sambil berlalu.
“Yang berakhir biarlah terkubur, Arya,” ucap Risa dalam hati.
Sebelumnya dimuat di : http://fiksiana.kompasiana.com/meutiafebrina/yang-berakhir-biarlah-terkubur_58ad131ec6afbd2a0de602be
Komentar
Posting Komentar