foto : Dok. pribadi |
Bahagia itu dimulai dari huruf “G”. Setidaknya itu makna
kata bahagia bagi Amanda sejak berkenalan dengan Gian akhir tahun lalu. Tidak
ada yang spesial dari sosok pria yang usianya terpaut nyaris satu dasawarsa
lebih tua darinya. Bahkan ketika Amanda memperlihatkan foto Gian ke sahabatnya,
Andini, ia malah tertawa ngakak
melihat ekspresi sahabatnya itu.
“Man, lo yakin? Ini cowok kan nggak banget. Kenapa standar cowok lo jadi di bawah SNI gini?”,
kata Andini dengan polosnya.
“Din, kita bisa memilih pekerjaan yang kita mau, memilih
baju atau lipstick yang akan kita pakai. Tapi kita tidak bisa memilih dengan
siapa kita jatuh cinta. Its just happened,
Din” kata Amanda sok puitis.
“Udahlah Man, kalian itu banyak banget bedanya. Lo dimana
dia dimana, jangan terlalu diseriusin. Nanti lo sakit,” Andini mencoba
mengingatkan.
Iya, Amanda dan Gian memang berbeda. Gian berusia 33
tahun, sementara Amanda masih 25 tahun. Gian tinggal di Osaka, Jepang sementara
Amanda tinggal di Jakarta. Gian adalah arsitek, Amanda adalah banker.
Dunia mereka jauh berbeda. Tapi Amanda yakin, akan ada satu hal yang bakal
mempersatukan semua perbedaan itu – Cinta.
***
Masih terekam dengan jelas di penggar otak Amanda bagaimana
detik per detik ia bertemu dengan lelaki gondrong, berkacamata dan
berpenampilan tidak biasa ini lima bulan lalu. Amanda tidak menyangka sama
sekali dibalik penampilan Gian yang katanya “nggak banget” ini, dia berprofesi
sebagai GM di salah satu biro arsitektur di Jepang.
“Come on Amanda,
don’t judge a book by the cover,” ucapnya.
Akhir tahun lalu, salah satu gerai kopi di Bandara
Soekarno Hatta mempertemukan mereka. Gian yang saat itu baru saja menghabiskan 9
jam waktunya melewati penerbangan NRT-CGK. Sementara Amanda baru saja tiba di
Jakarta setelah mudik ke kampung halamannya di Solo.
Amanda menyeret-nyeret kopernya yang sebenarnya tidak
terlalu berat masuk ke salah satu coffe shop. Yang ‘sedikit’ merepotkan dirinya
adalah justru kardus oleh-oleh yang sengaja dibawakkan oleh Ibunya dari Solo. Yup,
kebiasaan orang Indonesia sepulang dari kampung halaman adalah tak lupa
menenteng kardus oleh-oleh.
Setelah menenteng satu gelas kopi kesukannya, Amanda pun
bergegas meninggalkan coffe shop tersebut. Namun karena kerepotan menenteng
kopi, tas, ransel dan kardus, ketika ia berbalik, seorang pria menabraknya
hingga gelas kopi dan segala isinya tumpah.
“brakk..”
“Ya ampuun mas, maaf. Maaf banget. Saya nggak sengaja,”
Amanda panik sambil mengelap tumpahan kopi yang mengenai baju pria tersebut.
Pria itu cuma bengong melihat Amanda yang panik. Tanpa
ekspresi. Lempeng. Beberapa detik kemudian barulah dia buka suara.
“Nggak pa-pa mbak. Sudah, saya bisa sendiri. Justru saya
yang harus minta maaf karena kopi Mbak jadi tumpah,” ujarnya dingin.
“Sekarang mbak duduk aja dulu di sana, saya pesankan
kembali untuk mengganti kopi mbak yang tumpah ini,” katanya lagi.
Dengan tatapan masih bingung, Amanda pun menuruti saja
permintaan pria ‘aneh’ tersebut. Ia menuju salah satu meja di sudut coffe shop.
Tempat itu tidak terlalu bising dengan lalu lalang orang-orang. Selang beberapa
saat, pria tersebut sudah menenteng dua gelas kopi dan menghampiri Amanda.
“Gian,” pria tersebut mengulurkan tangannya dengan sopan.
“Amanda”, balasnya.
“Maaf ya, saya tadi pusing karena 9 jam di pesawat dan gak
biasa-biasanya jetlag dan masih pusing. Makanya tadi saya tidak lihat kamu di
depan saya,” ujar dia.
Gian memesan secangkir kopi hitam. Katanya, orang yang
memilih untuk minum kopi hitam menunjukkan bahwa mereka sosok yang tidak suka
omong kosong dan tidak suka basa basi. Penggemar jenis kopi ini menyenangi
pengalaman yang hebat, keras, dan penuh tantangan.
“Kamu kerja dimana,
Man?” kata Gian membuka pembicaraan.
“Aku? Kerja di Jakarta, di salah satu bank BUMN. Kalau
kamu?,” jawab Amanda singkat.
“Aku di Osaka, arsitek di sana,” jawab Gian santai.
Ketika Gian menyebut dia berprofesi sebagai arsitek,
Amanda nyaris tersedak. Penampilan Gian sama sekali tidak mencerminkan bahwa dia
seorang arsitek. Amanda sedikit banyak mengetahui dunia arsitek, karena
beberapa nasabahnya ada yang berprofesi sebagai arsitek. Dan untuk ukuran seorang
aristek yang bekerja di negara dengan salah satu perekenomian terbaik di Asia,
penampilan Gian sangat….. sederhana.
Gian menggunakan t-shirt Metallica yang sudah kumal,
rambutnya panjang sepinggang dan diikat sekenanya dengan mengenakan karet
gelang yang sering digunakan untuk membungkus cabai di pasar. Ia juga
menggunakan sepatu kets yang super dekil.
“Yakin nih yang kayak begini arsitek? ,” ucap Amanda dalam
hati sambil terheran.
Tak lama, suasana pun mencair. Lama-lama Amanda baru
percaya kalau Gian benar-benar berprofesi sebagai arsitek. Ia menceritakan
pengalamannya mengunjungi berbagai negara di dunia. Melihat bangunan-bangunan
indah yang diciptakan manusia.
“Jadi, apa bangunan yang paling cantik yang pernah kamu
lihat di dunia ini,”? tanya Amanda.
“No such thing.
Aku belum lihat semua bangunan di dunia. But I do have a few fave building. Salah
satunya di Malaysia, aku lupa namanya. Bangunan itu sebuah hotel, desainnya
unik. Aku suka di sana. Nanti deh, kapan-kapan aku ajakin kamu ke sana,” kata
Gian.
Ada yang berbeda ketika Amanda menatap Gian. Matanya
tajam, tapi bersembunyi di balik kacamatanya yang tebal. Cara Gian menyeruput
kopi hitamnya, cara Gian membetulkan letak kacamatanya , Amanda suka. Dan satu hal, bola mata Gian berwana coklat. Ntah kenapa, mata super tajam dan bola mata yang berwarna coklat itu terasa pas sekali di wajah Gian. Memang ini baru pertemuan pertama, tapi ntah kenapa Amanda
merasa tertarik menyelami pria asing yang satu ini.
Setelah ngobrol dua jam, waktu jugalah yang memisahkan
mereka. Gian harus segera ke Kebayoran untuk menemui kedua orangtuanya, dan
Amanda pulang ke kos-kosannya dan melanjutkan hidup.
“Boleh aku minta nomer whatsappmu? Kali aja suatu saat
nanti aku liburan ke Jepang dan butuh tour guide. Hehehe,” kata Amanda.
“Tapi bayaranku mahal loh,” canda Gian.
“Ini +81-93-477-2347,” Gian
mengetikkan nomer di ponsel Amanda.
**
Dua minggu kemudian tiba-tiba Amanda
dikagetkan dengan pesan whatsapp yang pertama kalinya dari Gian.
“Dor!?” isi pesan tersebut. Singkat dan
gak jelas, bagi Amanda.
“Ini cowok kenapa aneh banget
sih. Biasanya orang kalau membuka percakapan bilang “Hai, atau minimal apa
kabar? atau basa basi apa kek gitu. Ini Cuma bilang “dor” doang. Dasar cowok
aneh,” Amanda terheran.
“Gak kaget,” balasnya singkat.
“You’re
too cool for suprises,” balas Gian.
“Jadi, bapak arsitek apa kabar? ,” tanya
Amanda.
“Sehat, ibu banker gimana?,” balas Gian
lagi.
Amanda membuka aplikasi kamera di
ponselnya. Ia mengambil gambar sekeliling kantor yang sudah sangat sepi dan
mengirimkan ke Gian.
“Still
at the office with deadline, dong. I am
strong enough, right?,” tulis Amanda.
“Hahaha.. pulang gih. Istirahat. Kamu
cinta banget sama kantormu,” balas Gian.
“Iya. Bentar lagi, nanggung. Bos ku menyebalkan
banget hari ini,” kata
Amanda.
Sejujurnya, ada rasa bahagia tersendiri
bagi Amanda ketika Gian menghubunginya malam ini. Minimal bisa mengobati
kekesalannya hari ini kepada bosnya.
“Ngomong-ngomong soal bos, aku punya
cerita nih. Mau aku ceritain gak?,” kata Gian.
“Boleh..”
“Jadi, ini sebenarnya alasan aku
menghilang 2 minggi ini. Kerjaanku lagi bangsat-bangsatnya. Bos aku marah-marah
terus ke aku. Gak puas dengan desainku. Dan dia bahkan memarahi aku di depan
kliennya. Cant you believe that? “
“Serius? Kok bos mu aneh. Aku pernah baca
dimana gitu ya, bos yang baik tidak akan memarahi bawahannya di depan orang
banyak. Ia bakal ngajak bawahannya ngomong 4 mata, bukan dengan malu-maluin
bawahannya,” balas Amanda.
“Wataknya emang begitu. Dulu aja dia
pernah berantem sama istrinya di depan kami, gila kan,? lanjut Gian.
“Yo wis sing sabar yo nduk..” tutup
Amanda.
**
“Jadi, apa definisimu soal jodoh,”? tanya
Amanda ke Gian malam itu.
“Aku ga terlalu percaya sama yang
namanya jodoh bahkan. Menurut aku jodoh is whoever you want to spend your
lifetime with. Whoever you think makes you happy to be together with,” kata
Gian.
“Dan sampai sekarang belum nemu?
Bapak arsitek terlalu selektif maybe,” tanya Amanda.
“ Ya iyalah. I’m single by
choice, Not my choice though ,”Gian membalas.
"Seandainya kamu tau apa yang aku rasa...," kata Amanda dalam hati.
Lama kelamaan hubungan mereka semakin
dekat. Kecanggihan teknologi membuat jarak Osaka-Jakarta sejauh 5.735 km seakan
tidak berarti. Gian suka bercerita kepada tentang kehidupannya di sana.
Bagaimana kebiasaan orang Jepang yang sangat diburu-buru oleh waktu. Bagaimana ia
beradaptasi menghadapi culture shocked
di sana, baik dari orang-orangnya, budayanya hingga makanannya. Gian juga
sering bercerita tentang teman-temannya di kantor, dan bosnya yang kadang juga
super aneh.
“Sometimes I'm jealous of the
people who get to see you everyday, Gian…” ucap Amanda ke Gian siang itu.
"Wooooo... Man, kamu kok cetar banget ngegombalnya? ," Gian tertawa.
Amanda juga. Setiap harinya, ada saja
yang menjadi bahan yang ingin diceritakan kepada Gian. Entah itu soal
target-target kerjanya, nasabahnya yang menyebalkan atau menggoda Gian yang selalu kangen dengan masakan
Indonesia.
Tapi meski sudah berbulan-bulan kenal,
Amanda masih saja tidak dapat menebak apa yang menjadi isi hati dan pikiran
dari Gian. Ia tetap merasa Gian seperti orang asing yang selalu membuatnya
penasaran dan ia harus mengakui kalau ia mulai sayang kepada Gian.
“Gue udah hampir 4 bulan kenal dengan
Gian, Din. Tapi sampai sekarang gue masih gak tau apa yang ada di pikiran dia
tentang gue. He's so unpredictable
and complicated on so many levels .. Apa gue harus mundur ya, kayaknya emang gue
terlalu muluk-muluk,” kata Amanda waktu itu kepada Andini.
“Ya, lo logis aja Man.
Gak mungkin lo terus-terusan mau di PHP-in kayak gini kan,” kata Andini.
Sejujurnya, mungkin Amanda mulai jatuh
cinta dengan Gian. “Keasingan” Gian itu yang membuat Amanda tertarik.
Ekspresinya yang super lempeng itu selalu membuat Amanda gemas. Ia benar-benar
jatuh cinta dengan pria ini.
**
Amanda suka senja, dan Gian tidak pernah
lupa mengirimkan foto senja di Osaka. Senja di kota yang terkenal sebagai pusat
industri di Jepang tersebut sangat cantik sekali. Deretan gedung-gedung
pekantoran yang tinggi tidak menghalangi cantiknya senja di kota ini. Amanda
juga suka meng-upload beberapa gambar tersebut di akun instagramnya.
“Nanti deh, kapan-kapan aku kirimkan foto
senja dari Umeda Sky Building. Rooftop gedung ini menjadi lokasi favorit turis
yang ingin nikmatin matahari terbenam di Osaka,” kata Gian waktu itu.
**
“Aku udah di bandara. Ini mau masuk
pesawat terbang ke Jakarta. Sampai ketemu sabtu di tempat biasa,” tulis Gian
singkat. Lima menit kemudian ponselnya mati.
Satu hal yang tidak pernah dimengerti oleh
Amanda adalah Gian yang yang selalu unpredictable.
Jangan ditanya rasanya ketika ia akan bertemu dengan lelaki ini dalam beberapa
jam ke depan. Amanda sampai tidak bisa konsentrasi di kantornya dan tidak sabar
menunggu Sabtu. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan
perasaannya kepada Gian.
“Jadi, gimana Osaka?,” kata Amanda.
“Dingin. Desember itu lagi musim dingin.
Makanya aku pulang, kangen hangatnya Jakarta,” kata Gian sambil membetulkan
bingkai kacamatanya.
“Gian, aku boleh ngomong sesuatu?,” tanya
Amanda memberanikan diri.
“Boleh,” jawab Gian singkat.
“Aku sayang sama kamu. Aku pernah depresi
selama dua bulan ketika ditinggalkan oleh mantanku yang berjanji mau menikah
dengan aku. Tapi lama kelamaan itu semua hilang, dan aku bahagia semenjak kenal
kamu. Dari pertama kali aku memlihat mata kamu ketika kita ketemu di bandara, 5
bulan lalu. Dari sana aku mulai suka dengan kamu. Mungkin kamu pikir ini gak
masuk akal. Bagaimana kita bisa jatuh cinta dengan orang yang baru sekali
ketemu dengan kita. Tapi coba kamu pikir lagi, mana ada cinta yang masuk
akal?,” kata Amanda.
“Ya, aku tahu. Sejujurnya semua serba
rumit. Tujuan aku pulang sebenarnya ada yang mau aku jelasin ke kamu, Manda. Aku
sebenarnya sudah punya pacar. Tapi aku masih suka berantem sih dengan
pacarku. Aku juga gak tau apakah aku bakal menikah dengan dia atau nggak ke depannya,”
kata Gian.
Dan Amanda hanya bisa terdiam. Ia sudah tau betul apa resikonya jika ia mengutarakan isi hatinya kepada Gian. Tapi Amanda tidak peduli, ia harus dapat kepastian. Ia sudah terlalu lama menunggu Gian di sini, dengan segala pengharapan tentunya.
Tapi ketika ia sudah mendengar jawaban dari Gian, ia mencoba
mencernanya kata per kata. Menilai dirinya sendiri dari skala
1-10 tentang kesabarannya menunggu Gian selama ini. Rasanya Amanda sudah
terlampau sabar menunggu Gian selama 5 bulan ini. Tapi mungkin itu
tidak cukup bagi Gian.
“Lucu ya pertemuan kita kali ini. Semacam
bertemu tapi untuk berpisah. Aku pikir ini bakal jadi kado ulangtahun terindah buat aku. Makasih udah repot-repot pulang buat aku,” ucap Amanda.
Amanda dan Gian terdiam. Keduanya saling terpaku. Ada semacam penyesalan di mata Gian. Entah kenapa ia tega mempermainkan Amanda selama ini.
Amanda tertunduk. Ia bahkan sama sekali tidak berani menatap mata Gian. Iya, matanya yang coklat yang membuat Amanda jatuh cinta dengan Gian pertama kali satu tahun lalu. Mata yang tajam, tapi selalu tersembunyi dibalik kacamata bingkai hitamnya.
"Kamu cuma terlambat, Manda. Seandainya aku kenal kamu lebih dulu, mungkin aku memilih kamu daripada dia. Maafin aku, Manda," kata Gian.
"Ya sudah, aku hargai pilihanmu. Terima kasih," ucap Amanda sambil berlalu.
Komentar
Posting Komentar