Kami bertengkar hebat di parkiran tengah malam itu. Dia dengan segala egoisnya, akupun.
"Kalau kamu begini terus, gak bakal ada orang yang tahan dengan kamu. Termasuk saya," kataku setengah berteriak.
Mataku panas, dadaku sesak. Aku tidak punya kata-kata lagi untuknya. Yang ku tau, aku mencintainya. Tapi terkadang mencintainya juga menyakitiku.
Dia diam. Membuka bungkus rokoknya, mengambilnya sebatang, kemudian menyalakannya. Dia duduk di atas jok motor tuanya. Dia menjemputku malam itu, dan berencana mengantarku pulang.
"Iya. Saya memang egois. Saya butuh yang mengerti saya. Kalau kamu tidak bisa mengerti, kamu sama aja seperti yang lainnya berarti," katanya.
"Saya pikir kamu benar-benar bisa mengerti mau saya. Tapi ternyata tidak," katanya lagi.
Dia membelakangiku. Dari belakang ku lihat tubuhnya yang makin kurus, rambut acak-acakan, dan ransel kecil pemberian dariku yang selalu ia bawa kemanapun. Kami berdua terdiam.
Kata orang, hidup berawal dari mimpi. Mimpilah yang membuat kita tetap hidup. Itulah yang bakal dilakukannya bulan depan, mengejar mimpinya hingga ke Durham. Iya. Ke negara yang jauhnya 11.740 km dari tembok kosanku.
Seharusnya, semua tidak akan serumit ini. Aku tinggal melepasnya, mengantarkan dia baik-baik ke bandara, membiarkan ia mengejar mimpinya, dan aku melanjutkan mimpiku di sini.
Seharusnya, semua tidak akan serumit ini. Aku tinggal melepasnya, mengantarkan dia baik-baik ke bandara, membiarkan ia mengejar mimpinya, dan aku melanjutkan mimpiku di sini.
Aku cukup duduk manis, mempercayainya, mendoakannya, dan kembali melanjutkan hidup seperti biasa. Iya, semudah itu. Toh di zaman yang serba canggih ini, jarak hanya sebatas jempol dan keypad saja.
Tapi kenyataannya, aku yang memperumit itu semua. Hingga kemudian dia pergi, dan semua selesai.
Tapi kenyataannya, aku yang memperumit itu semua. Hingga kemudian dia pergi, dan semua selesai.
source: wsj.com |
Komentar
Posting Komentar