Sejujurnya nih ya, gak ada seujung kukupun gue punya hak ngasi wejangan apapun soal pernikahan. Wong gue baru menikah bulan September lalu. Tapi berhubung karena ini blog gue dan gue bebas mau nulis apa, ya udah la ya...
Mungkin di luaran sana banyak buku yang menulis tentang "Key secret to succesful marriage" atau "How to have a happy marriage" atau buku-buku tentang pernikahan yang bahagia lainnya. Tapi gue gak yakin ada manusia yang mencoba mempraktekkan apa yang tertulis di buku tersebut 100 persen.
Gue pikir gak ada rumus baku yang mengajarkan bagaimana menciptakan pernikahan yang awet dan harmonis. Setiap manusia itu berbeda-beda. Yang tau karakter pasangan kita adalah kita sendiri. Jadi ya, yang tau caranya ya (mungkin) kita.
Beberapa minggu sebelum menikah, gue sempat meminta nasihat dari orang-orang terdekat gue. Banyak banget saran dan masukan yang gue dapat. Ada yang bilang, kalo sudah punya pasangan nanti jangan membanding-bandingkannya dengan orang lain. Terus, usahakan selalu menemani suami saat makan walaupun kita gak makan. Lalu istri harus patuh pada suami, tapi suami tetap milik ibunya. Jadi kita harus pintar-pintar menempatkan diri.
Terus juga ada yang bilang ke gue kalo ketika menikah, jangan mengkotak-kotakkan tugas rumah tangga. Anggap pasanganmu adalah partner. Dengan begitu, kalian pasti bisa bekerjasama dan menyelesaikan pekerjaan rumahtangga dengan baik. Terakhir, nasihat pernikahan dari salah seorang kawan baik yang paling gue ingat adalah "kekurangan dia adalah tanggungjawabku. Kelebihan dia adalah hadiah buatku". #nyessgaktuh
Pernikahan kedua orangtua gue juga gue jadikan panutan. Dimana mama setia dengan papa sampai papa menghembuskan nafas terakhirnya. Ribut-ribut kecil diantara mereka sudah biasa gue dengar. Tapi cinta mereka lebih kuat dari apapun.
Pernah di satu sore gue inget banget, mama dan papa baru pulang dari pasar buat belanja bulanan. Karena barang yang dibeli banyak banget, papa gue gak sengaja menyenggol meja ruang tamu kesayangan mama sampai kakinya patah. Di sana mama marah, bercampur kesel, bercampur capek habis pulang dari pasar. Ributlah tuh mereka. Gue diem gak ikut campur.
Tapi malamnya gue liat mereka udah akur lagi dan memperbaiki kaki meja yang patah itu berdua. Mama yang ngasih lem di kaki meja, dan papa yang megangin kaki mejanya biar gak geser. So sweet bangetkan. Di situ iba-tiba air mata gue mrebes. Ntah karena terharu, atau karena ada yang naro bawang merah di sana :"""").
Btw beberapa bulan setelah menikah, masalah pernikahan gue baru sebatas kasur yang males dirapihin setiap pagi, baju kotor yang ditaro sembarangan, atau dia yang suka males kalo disuruh potong rambut. Sereceh itu. Semoga selalu sereceh itu.
Gue gak tau ke depannya apa yang bakal kami hadapi. Yang pasti, dia gak pernah muluk-muluk menjanjikan kehidupan yang bahagia ke gue. Tapi dia selalu punya cara ngebahagiain gue. Ntah gue anaknya emang gampang dibahagiain (hhahaha cupuk).
Meski nih ya, gue akui memang tak jarang ada emosi yang meluap, hingga membuat kami terkesiap. Tapi ya kembali lagi. Kami hidup satu atap. Dari pada saling nyapnyap, lebih baik kami saling mendekap. Meski kadang mata suka sembap atas sikap yang tak sesuai harap, tapi akhirnya dia usap dan kami kembali saling berhadap..
mama dan papa :') |
Komentar
Posting Komentar