Ini bukan resensi film. Bukan juga resensi novel. Gue sama sekali gak mahir dalam kedua hal itu. Bukannya gak mau nyoba, tapi takut nanti kalah saing sama blog seorang kawan yang juga rajin mengulas resensi film dengan gaya khasnya yang kocak.
Yang mau gue ceritain adalah pengalaman gue hanyut dan tenggelam dalam lautan air mata (ini seriusss) oleh sebuah novel bikinan Ibu Leila Chudori, yang juga difilmkan secara apik oleh sutradara Pritagita Arianegara.
Hal yang pertama yang mau gue ceritain adalah tentang bagaimana gue jatuh cinta pada pandangan pertama dengan novel ini. Sejujurnya, gue adalah tipe pembaca yang suka menilai buku dari covernya. Karena gue percaya, seorang penulis hebat akan sangat total dalam menghasilkan sebuah karya. Bagaimana mungkin seorang penulis yang sudah susah payah menyusun sebuah cerita dari perkenalan-konflik awal-konflik makin serius- klimaks-antiklimaks- dan resolusi sedemikian rupa, tapi covernya didesain seadanya. Gue percaya, penulis yang hebat gak bakal melakukan hal tersebut. Makanya, waktu pertama kali Ibu Leila ngetweet cover buku ini, gue langsung suka. Padahal gue sama sekali belum baca resensi bukunya bercerita tentang apa, genrenya apa, tokohnya siapa, dll. Gue sama sekali buta. I really dont care about it!
Dan akhirnya, sebagai 'hadiah' dari bertambahnya usia gue menjadi 26 tahun di tahun, buku ini resmi mendarat di tangan gue. Seorang kawan baik yang sudah menghadiahkannya.
Jadilah gue menghabiskan waktu selama 3 hari untuk menamatkan novel setebal 379 halaman ini. Novelnya ringan. Bahasanya sangat mudah dimengerti. Gak tau kenapa ya, Ibu Leila seakan-akan bercerita dari hatinya. Mungkin ini yang membedakan penulis pria dengan wanita (menurut gue). Penulis wanita rata-rata bercerita dengan hati dan lebih mengaduk emosi.
Lewat buku ini, banyak hal di balik tragedi 1998 yang baru gue tau. Mahasiswa yang tidak tunduk dengan pemerintah disiksa sedemikian kejamnya, diinjak-injak harga dirinya, bahkan dihabiskan nyawanya. Maklum, sebagai generasi milenial, waktu tragedi itu terjadi usia gue masih kinyis-kinyisnya, 6 tahun. Dimana hari-hari gue saat itu dihabiskan dengan sekolah, bermain dan mengaji.
Yang menjadi trigger dari novel ini menurut gue adalah 2 halaman surat dari Laut kepada adiknya, Asmara Jati. Sejujurnya, air mata gue mengalir sendiri pas bagian itu. Bagaimana dia sangat merindukan keluarganya. Setiap akhir pekan ia habiskan untuk menikmati tengkleng buatan ibunya. Tapi di sisi lain, dia cinta mati dengan negaranya. Dia harus memilih. Gue gak habis pikir ada orang yang hidupnya kayak gitu.
++++++
Mengenai filmnya, gue juga gak ada sedikitpun keraguan. Cuma, agak sedikit sayang sih. Begitu tau yang meranin tokoh Laut adalah Reza Rahardian, gue kayak "Emmm... ya udah deh".
Satu Endonesia juga udah tau, sebagai aktor kualitas akting Reza udah gak perlu diraguin lagi. Cuma ya gue butuh aktor baru atau mungkin yang gak pernah gue kenal sebelumnya buat meranin Laut. Atau kalau PHnya niat sedikit buat ngadain casting di beberapa kampus di Indonesia untuk mencari sosok "Laut". Ya tapi terlepas dari itu, menurut gue Reza sudah berperan dengan baik di film ini.
Sedikit cerita, sebelum gue nonton film ini ada sederet kerempongan berujung kepuasan yang harus gue lalui.
Sungguh Tuhan emang gemar menguji kesungguhan umatnya ya. Gue nonton film "Laut Bercerita" ini di XXI Plaza Indonesia pas bertepatan dengan event Plaza Indonesia Festival Film pada 2 Maret lalu.
Info pemutaran film ini lagi-lagi gue dapat dari twitternya ibu Leila. Di sana beliau ngetweet tentang pemutaran film Laut Bercerita akan dilakukan pada pukul 18.30 WIB. Emang dasar perempuan impulsif, spontan, dan thougtless, begitu gue baca tweet tersebut yaudah gue langsung memutuskan dalam hati kalo: "Gue harus nonton film ini!" Gue sampe niat bawa novelnya buat minta tanda tangannya Ibu Leila.
Awalnya gue mau ditemenin sama temen kantor. Tapi karena satu dan lain hal, gue jadinya pergi sendiri. Tanpa pikir panjang, pulang kantor gue langsung naik busway menuju GI. Dari halte Tosari tempat gue turun. Gue pikir awalnya acaranya di GI. Pas sampe deket GI gue cek lagi twitterny, dan gue lemes karena ternyata acaranya di PI. Dari Tosari ke GI itu jalannya JAUH YA SIST. Sedangkan dari Tosari ke PI itu gak begitu jauh. Gue akhirnya mengutuk kebodohan gue sepanjang jalan.
Info pemutaran film ini lagi-lagi gue dapat dari twitternya ibu Leila. Di sana beliau ngetweet tentang pemutaran film Laut Bercerita akan dilakukan pada pukul 18.30 WIB. Emang dasar perempuan impulsif, spontan, dan thougtless, begitu gue baca tweet tersebut yaudah gue langsung memutuskan dalam hati kalo: "Gue harus nonton film ini!" Gue sampe niat bawa novelnya buat minta tanda tangannya Ibu Leila.
Awalnya gue mau ditemenin sama temen kantor. Tapi karena satu dan lain hal, gue jadinya pergi sendiri. Tanpa pikir panjang, pulang kantor gue langsung naik busway menuju GI. Dari halte Tosari tempat gue turun. Gue pikir awalnya acaranya di GI. Pas sampe deket GI gue cek lagi twitterny, dan gue lemes karena ternyata acaranya di PI. Dari Tosari ke GI itu jalannya JAUH YA SIST. Sedangkan dari Tosari ke PI itu gak begitu jauh. Gue akhirnya mengutuk kebodohan gue sepanjang jalan.
Penderitaan gue belum selesai sampai di sana sodara-sodara. Begitu gue sampai di XXI, gue mendaftarkan diri kepada panitia untuk mendapatkan tiket nonton. Dengan pede dan jumawa karena gue gak telat, gue memutuskan untuk main nyelonong aja tuh daftar ke panitia. Terus panitianya bilang, " Mbak kode bookingnya mana? | Kode booking apa ya? | Harus ada kode booking terus diprint biar mbak bisa nonton film ini| Atau gak, mbak ngantri dulu jam setengah 7 untuk dapatin tiketnya| Itu juga kalo gak kehabisan yaa|
Seketika gue lemess dong. Gila ya gue udah macet-macetan, jalan ngiterin komplek mol GI dan PI, terus gue gak bisa nonton filmnya karena lagi-lagi gue gak baca lengkap persyaratannya...!!!!
Daripada BT akhirnya gue memutuskan untuk duduk di pojokan. Narik napas sembari berpikir dan melihat orang-orang yang lalu lalang di depan gue. Gak berapa lama, ada seorang perempuan yang duduk sebelah gue. Namanya kalo gak salah Mbak Gendis. Dia PNS di Kemenkumham. Dia sedang menunggu temannya (yang menurut gue gak bakal dateng karena temennya susah banget dihubungi). Yaudah tuh gue ngobrol-ngobrol aja sama dia buat saling mengobati kekecewaan.
Lagi asyik-asyik ngobrol, tiba-tiba berdiri seorang perempuan usia 35an di sebelah gue. Karena dia sendiri, ya udah gue ajak ngobrol aja. Dia ternyata fans Reza Rahardian garis keras. Bayangin aja, semua film yang ada Reza Rahardiannya dia SELALU nonton. Pas premiere pula! Kaya banget mbaknya kayaknya. Dia menceritakan ke gue pengalamannya "ngikutin" Reza Rahardian setiap ada film barunya. Bahkan dia sampai punya grup WA khusus fans Reza Rahardian basis Tangerang. Ini yang namanya Totalitas!
Saat obrolan gue dan mbak tersebut jeda, gue iseng motoin banner film Laut Bercerita yang ada di depan gue. Gue upload ke whatsapp stories dengan kepsyen: "Pengen banget nonton film iniii tapi gak kebagian tiketnya". Emang ya, janji Allah selalu dibayar tunai untuk hambanya yang sudah gigih berusaha. Tiba-tiba seorang kawan lama nge-WA gue. "Mau nonton ini, Meut? Gue ada tiketnya nih. Gue nonton yang malem soalnya. Mau?|
GELA GELA GELA Gimana w mau nolakk. Tanpa basa basi gue langsung ketik "MAUUU". Dan beberapa menit kemudian tiket tersebut mendarat dengan cantik di email gue. Rasanya legaa dan bahagyaaa.
Dan yang gak kalah bahagia, adalah Mbak Gendis. Dia juga berhasil mendapatkan tiketnya berkat kebaikan hati si Mbak yang fans Reza Rahardian keras itu. Ternyata temennya beneran dateng, tapi telat banget.
Setelah adegan kebahagiaan itu habis, tiba-tiba di depan gue lewat Ibu Leila. Spontan gue langsung ngeluarin buku dan pulpen untuk minta tanda tangan. Tapi gak langsung gue kejar sih. Hahah nanti dikira norak:(. Gue liat dia selow dulu, baru gue samperin.
Ternyata gak cuma gue yang berniat minta tandatangan malam itu. Gak cuma tandatangan, tapi juga foto bareng. Pas tiba giliran gue, Ibu Leila sangat ramah sekali. Dia menandatangani buku gue, dan gue dapat bonus foto bareng dengan beliau.
Sebelum film di mulai, Ibu Leila memberi sedikit sambutan. Sesuai prediksi, gue suka filmnya. Gak suka banget sih, tapi suka aja. Gue apresiasi kehebatan mereka yang ada di balik film ini, yang sudah menginterpretasikan novel setebal 379 halaman dalam durasi 30 menit. Gak gampang lho bikin film yang diangkat dari novel.
Sukses selalu untuk Ibu Leila,
dari saya,
Meutia Febrina.
Komentar
Posting Komentar