Instagram adalah salah satu aplikasi sosmed yang gak bisa dilepaskan dari para generasi milenial. Kalo gue, bisa dibilang hampir 60 persen waktu senggang gue dihabiskan dengan berselancar di Instagram. Setiap harinya feed Instagram gue dipenuhi berbagai macam hal. Mulai dari foto liburan temen-temen gue, foto makanan, akun ghibah, online shop, sampai momen-momen gak penting pun ada di sana.
Mungkin karena otak manusia cenderung menyukai hal yang bersifat visual seperti gambar yang indah-indah kali ya. Dan Instagram menyediakan semua itu. Gue bisa menghabiskan berjam-jam waktu gue menggerakkan jempol gue dari satu akun Instagram ke akun lainnya. Ntah itu untuk sekedar melihat-lihat ataupun kepo-kepo lucu.
Gue menjadi pengguna media sosial bikinan bang Kevin dan bang Mike ini sejak 2013 lalu. Kala itu fitur Instagram belum serame saat ini, masih simple bangetlah pokoknya. Instagram gue diisi dengan berbagai foto-foto absurd gue. Mulai dari foto keluarga, jalan-jalan, makanan dan hal-hal yang menarik menurut kacamata gue yang jumlahnya sampai 500 foto. Gue gak pernah terpikir untuk merapihkan feed Instagram gue biar kayak orang-orang.
Sampai akhirnya sekitar bulan Juli lalu gue memutuskan untuk mundur dari dunia Instagram. Awalnya gue pengen nguji diri gue dulu sih dengan tantangan 30 hari tanpa Instagram. Ternyata gue berhasil dan sampe sekarang gue belum menemukan alasan yang substansial untuk kembali ke dunia Instagram yang serba artifisial itu.
Memang sih, keputusan gue mundur dari Instagram gak sampe membuat alam semesta heboh kayak Justin Bieber menonaktifkan akun IGnya. Tapi temen-temen gue pada heran kenapa gue 'resign' dari Instagram, karena sebelumnya gue termasuk pengguna yang lumayan aktif.
Sebenarnya ada beberapa alasan mengapa gue memilih menonaktifkan akun Instagram gue. Poin-poin ini gak mutlak sih sebenarnya. Ini cuma opini gue aja dan elo semua gak harus setuju dengan gue. Mari gue jabarkan satu per satu ya.
Menimbulkan kecemburuan sosial
Melihat si A, si B si C yang hidupnya jalan-jalan terus, sementara gue begini-begini aja. Padahal bisa aja si A,B dan C itu hidupnya sama kayak gue. Tapi dia tutupi dengan foto-fotonya yang menampilkan citra diri dia bahagia. Akibatnya gue jadi pribadi yang lupa bersyukur. Padahal nikmat yang gue dapat sebenarnya jauh lebih banyak dari mereka, gue aja yang gak menyadarinya.
Merayu gue untuk lebih hedon dan konsumtif
Nongkrong di kafe mahal tiap Minggu membuat kita terlihat lebih keren. Atau membeli barang-barang yang sebenarnya gue gak butuh-butuh banget yang ditawarkan para sista-sista di olshop. Kalo gak dibeli kepikiran, kalo dibeli malah makin kepikiran gimana bisa bertahan sampai akhir bulan. Padahal sebenarnya uangnya bisa gue simpen untuk tabungan, investasi ataupun hal yang jauh lebih bermanfaat.
Kadang gue berpikir ya, ketika gue membeli sesuatu barang yang bisa dikatakan mahal, orang-orang bakal berkata "Gila, keren ya sepatu lo. Cantik ya baju lo. Pasti mahal" Habis itu udah. Mereka kembali biasa ke gue. Apakah iya harus sampe segitunya supaya gue mendapat pengakuan "keren dan cantik" tapi di belakangnya gue harus ngirit? Malu banget gak sih.
Gue jadi inget kata-kata salah seorang narsum gue yang pernah gue wawancara. Beliau merupakan salah satu VP di perusahaan telekomunikasi yang terbesar di Indonesia. Beliau bilang gini ke gue "Your value its more higher than what you wear. Anything physicly you can buy, your value should be higher than it". Jadi jangan sampai harga diri elo itu terkerek karena barang yang lo pakai. Suatu saat harga barang itu turun ,otomatis harga diri lo jadi ikutan turun dong?
Memperbanyak dosa
Dosa gue setiap harinya udah banyak, gue gak mau nambah-nambah dosa gue lagi dengan buka-buka akun ghibah yang ada di Instagram. Kadang ya, gue sebenarnya kasian dengan para selebritis yang sering dibully di IG karena kehidupan pribadinya dibongkar. Tingkat kepedesan komentar dari para netizennya kalo dari skala 1-10 kayaknya ada diangka 12. Anehnya, even itu foto kebahagiaanpun yang diposting oleh si artis komennya tetap negatif. Netizen seakan gak pernah lelah mencari kekurangan si artis untuk dibully.
Gue membayangkan itu gue, dan 700 juta pengguna Instagram di dunia tau aib gue. Padahal, sejatinya setiap manusia pasti punya aib. Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Dan bukankah ketika kita membongkar aib seseorang sama aja seperti kita memakan bangkai?
Ada orang-orang yang gak pengen gue lihat di IG
HAHAHAHA. Gue pernah mengalami patah hati yang paling ngehe sepanjang 25 tahun gue hidup, dan puji syukur gue berhasil melewatinya. Prinsip gue ketika hubungan gue udah selesai dengan 1 orang, gue gak akan mau tau lagi apapun terkait hidup pria tersebut. Daripada tangan gue gatel untuk stalking akun IGnya dia, mending gue aja yang nonaktifin IG gue sekalian dan gue hidup bahagia selamanya :)
Boros kuota
Baru ngisi paket internet, eh seminggu kemudian udah abis. Buka Instagram itu emang bikin nagih, dan sering membuat gue lupa waktu. Akibatnya gue jadi boros :(
Gak semua tentang hidup gue orang-orang harus tau
Makin dewasa, membuat gue makin selektif. Ntah itu selektif memilih teman, selektif memilih pria yang bakal menjadi partner hidup, sampai selektif memposting apapun di media sosial. Ketika gue memposting momen bahagia gue, apa iya semua orang akan merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang gue rasa? Atau jangan-jangan gue malah jadi bahan perghibahan mereka. Atau ada orang-orang yang merasa iri dengan kebahagiaan gue. Atau gue lupa ketika gue bahagia, masih banyak orang-orang di sekitar gue yang masih kesusahan. Gue gak mau itu terjadi. Ketika gue bahagia, cukuplah gue dan orang-orang terdekat gue yang tau.
Sekian beberapa alasan mengapa gue memilih menonaktifkan akun IG gue. Gue nulis begini bukan berarti Instagram itu gak punya manfaatnya sama sekali ya. Banyak kok temen gue yang bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari Instagram dengan menjadi traveller. Tapi kalo buat gue, masih banyak cara untuk menjemput rezeki selain dari Instagram.
Pernah sekali-kali kangen dengan Instagram? Pernah dong pastinya. Tapi gue mencoba mengingat kembali alasan gue mundur dari Instagram. Dan gue harus komit akan hal itu.
Setelah kurang lebih 2 bulan gue lalui tanpa Instagram, hidup gue masih berjalan baik. Bahkan jauh lebih baik. Matahari di Jakarta masih tetap bersinar, jalanan di Mampang masih tetap macet, gue masih tetap hidup dan bernapas seperti biasanya.
Sebenarnya semuanya tergantung niat sih, mau atau enggak. Tapi konsekuensinya elo harus kuat menahan bullyan temen-temen lo ketika mereka tau elo udah gak main Instagram... Hahahaha..
instagram logo Foto : media1.s-nbcnews.com |
Komentar
Posting Komentar