Tempo hari gue mengalami mimpi yang membuat gue sedih sekaligus tertempar. Ceritanya gini, adik gue yang cowok yang paling bontot bunuh diri dan loncat dari jembatan. Mukanya terlihat frustasi dan sedih gitu gue gak tau kenapa. Dan sedihnya gue gak bisa berbuat apa-apa menghentikan dia. Terus dia jatoh dan kepalanya mengeluarkan darah. Dan gak lama kemudian gue tersadar dan bangun. Gue mengucap astagfirullah dan bersyukur kalo semua itu cuma mimpi.
Sejatinya, every human is an actor or actress ini our life. We have the character that we played everyday. Di rumah, gue berperan sebagai kakak sekaligus anak kedua. Di kantor, gue berperan sebagai karyawan dan penulis, di lingkungan sosial gue berperan sebagai perempuan 25 tahun, dan banyak lagi. Tentu kita sebagai manusia pasti berharap bisa ‘memainkan’ semua peran tersebut sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya.
Tapi, mimpi gue yang tempo hari lalu itu secara gak langsung seakan-akan menyiratkan gue kalau gue sudah gagal berperan menjadi kakak yang baik dan perhatian bagi adik-adik gue. Terutama buat adik lelaki gue yang terakhir ini.
Sejak bokap meninggal, segala urusan tentang adik gue menjadi tanggung jawab (almost) gue. Meski gue masih punya kakak, tapi kakak gue gak bisa mencurahkan totally waktunya untuk kedua adik gue tersebut. Jadilah gue yang membantu mama, memantau dari jauh, dan memberi perhatian kepada kedua adik gue itu.
Nyokap bilang kalo gue itu orangny grumpy, impatient, and apathetic. Hahahah. Makanya adik gue yang cowok ini takut sama gue. Apa karena usianya juga yang lagi masuk masa puber, tentu agak sedikit canggung untuk bercerita dengan kakak perempuannya. Apalagi posisinya kami jauh dan berseberangan pulau, dia di Padang dan gue di Jakarta. Komunikasi hanya terjalin via telepon dan whatsapp saja.
Pernah sekali gue marah besar dengan dia karena dia ngebohongin nyokap gue dan pergi main game online seharian. Nyokap nelpon gue sambil nangis-nangis. Emosi gue pun memuncak dan gue mengancam dia bakal pulang ke Padang buat ‘menghajar’ dia kalau nilai dia jeblok karena main game. Pernah lagi gue ngomelin dia karena dia itu paling males menjaga kebersihan tubuhnya. Bukan apa-apa, gue gak mau adik gue menjadi bahan olok-olok temannya karena dia bau.
Sejak gue suka ngomel-ngomel itu, adik gue itu mulai menjauh sama gue. Kalau ditelepon jawabnya sekenanya aja, dan gak pernah mau ngobrol lama. Padahal dulu waktu kecil, gue dan dia sangat dekat ketimbang dengan adik gue yang satu lagi. Mungkin karena gue kesenengan punya adik cowo kali ya. Gue inget banget, dia dengan polosnya pernah ngelarang keinginan gue untuk kuliah di Jakarta. “Nanti yaya diculik,” kata dia waktu itu.
Semenjak itu gue berusaha memperbaiki diri gue. Terutama dari cara berkomunikasi. Gue dekati dia lagi. Gue banyakin baca artikel tentang bagaimana mendidik anak laki-laki usia remaja. Apa saja yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Gue dengerin keluhannya, gue tanya apa kebutuhan dia, gue apresiasi kalo dia dapat nilai bagus, dan gue dukung hobinya. Semua itu gue lakukan demi menjadi seorang kakak yang sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya..
Komentar
Posting Komentar