"Jadi, kenapa elo suka senja?" tanya Bagas.
"Senja itu menenangkan, walaupun dia cuma datang sebentar terus pergi lagi," ujar Tara.
"Kenapa aku suka senja? Karena negeri ini kebanyakan pagi, kekurangan senja, kebanyakan gairah, kekurangan perenungan. Begitu sih kata Pak De Sudjiwo Tedjo dalam bukunya Tali Jiwo," ucap Bagas.
Begitu isi percakapan di whatsapp antara Tara dan Bagas sore itu. Mereka memang baru kenal, tapi keduanya sudah sangat akrab seperti sudah bertahun-tahun kenal.
Tara senyum-senyum sendiri jika mengingat awal perkenalannya dengan Bagas. Aplikasi instagramlah yang mempertemukan mereka. Sebenarnya, tidak ada yang spesial dengan pria Jawa yang berperawakan kurus, ceking, gondrong dan berkacamata itu. Malahan Tara berpikir lelaki ini bisa dibilang.......aneh atau lebih tepatnya nyentrik.
Awalnya, Tara suka melihat foto-foto hasil jepretan Bagas di fitur explore akun instagramnya. Kemudian ia tertarik untuk mem-follow akun instagram Bagas, dan Bagas juga mem-followback akun instagramnya. Diam-diam mereka saling lempar 'kode' dengan sering membubuhkan tanda 'love' disetiap foto yang diposting. Sampai akhirnya Tara gemas sendiri karena tidak ada kemajuan dan memberanikan diri dan bodo amat memberi nomor ponselnya pada Bagas terlebih dahulu.
"Jika butuh kawan untuk sharing, sila kontak saya di 081285448910" . Tara memencat tombol "send" dan pesan tersebut sudah mendarat di inbox akun instagram milik Bagas.
Gayung bersambut. Tidak sampai sejam, di ponsel Lenovo Tara sudah mendarat pesan whatsapp dari Bagas. Tak lama, obrolan mereka pun mencair.
Hari itu minggu pertama di bulan Januari. Dan hari itu bisa dibilang adalah 'kencan' pertama Tara dan Bagas. Bagas mengajaknya ke salah satu tempat bersejarah di Jakarta, yaitu Museum Taman Prasasti.
"Kamu udah dimana?" tanya Bagas.
"Di Kebayoran, dikit lagi sampe kok," jawab Tara singkat.
Mereka berjanji bertemu di kantornya Bagas yang berada di kawasan Senayan. Saat Tara turun dari gojek, saat itu pula Bagas baru tiba dengan skuter matiknya persis di belakang Tara. Mereka pun bersalaman. Canggung. Awkward.
Bagas ternyata pendiam sekali aslinya. Sepanjang perjalanan Tara memutar otak bagaimana membuka obrolan dengan Bagas.
"Btw Museum Taman Prasasti itu dimana ya? Kok aku baru denger?" tanya Tara memecah keheningan. Ia mencoba menemukan cara untuk membuka obrolan dengan pria introvert ini.
"Museum Taman Prasasti itu kuburan. Di dalamnya ada koleksi nisan yang berasal dari Belanda. Terus di sana ada makam Soe Hok Gie juga. Kamu belum pernah kesana?," Papar Bagas.
"Maksudnya, kita mau ke kuburan? " Tara memastikan lagi ucapan Bagas. Sedetik kemudian ia berpikir untuk urusan apapun, Tara yang berprofesi sebagai jurnalis ini tidak pernah takut. Narasumber mulai dari orang biasa sampai pejabat sudah khatam olehnya. Tapi, kalau yang berhubungan dengan setan dan teman-temannya, gadis 24 tahun ini adalah si pengecut sejati.
"Iya, kenapa? Kamu takut? " Bagas tersenyum jahil.
"Aku belum pernah kesana. Yauda boleh," ujar Tara pasrah.
Skuter matic milik Bagas meluncur di jalanan Ibu kota. Hari itu hari Minggu dan jalanan amat lengang. Warga Jakarta banyak yang memilih menghabiskan akhir pekan di rumah karena cuaca yang juga lumayan terik. Sesampai di tempat tujuan, mereka kemudian turun dari motornya.
Tara baru benar-benar bisa melihat postur tubuh Bagas secara sempurna setelah ia berdiri tegak disebelahnya. Alis dan rahangnya tegas, tingginya sekitar 165 cm. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai di atas kemeja kotak-kotaknya yang masih wangi meski terkena debu jalanan. Tas selempang kecil berwarna hitam dan sendal gunung warna hitam melengkapi penampilannya. "Sederhana," ujar Tara dalam hati.
"Kamu sering kesini,"? tanya Tara membuka percakapan. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana harus membuka percakapan dengan pria yang lebih mirip tembok ini karena saking diamnya.
"Baru sekali," jawab Bagas.
"Kalo kamu mau ke makam Soe Hok Gie itu di depan sana,lurus aja," kata Bagas lagi.
Mereka berdua berjalan menuju makam anak muda yang dikenal sebagai aktivis dan intelektual pada masanya itu.
"Cekrek..cekrek," Tara kemudian mengambil beberapa gambar makam Soe Hok Gie. Ia mendekati makam tersebut. Di makam tersebut ada sebuah patung malaikat bersayap dengan tangan di dada. Di bawahnya ada semacam nisan yang bertuliskan nama "Soe Hok Gie" lengkap dengan tanggal , bulan dan tahun beliau lahir dan wafat. Di batu nisan itu terukir salah satu kata-kata Soe Hok Gie yang cukup fenomenal yitu : "Nobody knows the troubles . I see nobody knows my sorrow"
Puas mengambil beberapa gambar, Tara tidak sadar dari tadi sebenarnya Bagas memperhatikannya. Di balik kacamatanya yang tebal, diam-diam Bagas juga tidak tahu mengapa ia dengan mudahnya berani mengajak Tara untuk 'kencan' pertama kalinya. Padahal sebelumnya jangankan mengajak kencan, berbicara dengan perempuan yang disukainya saja dulu ia sudah keringat dingin.
Tara menghampiri Bagas. Mereka duduk di pinggir paving blok di bawah pohon persis di depan makam Soe Hok Gie. Waktu itu pukul 2 siang, dan harusnya matahari sedang terik-teriknya. Tapi semesta seakan mendukung pertemuan mereka dengan menghadiahkan semilir angin dan udara yang sejuk.
"Jadi, gimana kerjaan lo? Fotografer seru ya. Bisa kemana-mana. Kemarin dari Vietnam seru gak?" kata Tara.
"Biasa aja. Kamu jurnalis kan juga sering jalan-jalan," jawab Bagas cuek.
"Tuhaaaaaan, gue harus gimana lagi supaya makhluk ini bisa ngomong panjang lebar. Kenapa mendadak gue jadi begini," ucap Tara dalam hati.
Padahal Tara sudah sering bertemu dengan narasumber yang pelit omong. Tapi berkat kelihaiannya berkomunikasi, ia selalu punya cara membuat narsum itu mau bicara panjang lebar. Sayangnya, itu tidak berlaku pada Bagas.
"Jadi Tar, kamu sekarang dekat dengan siapa?", akhirnya si manusia tembok ini membuka percakapan.
"Banyak. Kenapa emangnya?," Tara mencoba iseng mengerjai Bagas. Padahal semenjak satu tahun lalu, belum ada satupun pria mengisi hati Tara.
"Gak kenapa-kenapa," jawab Bagas.
Bagaspun tiba-tiba mengalihkan pembicaraan tentang pekerjaannya. Tentang masa kecilnya yang hampir separuh usianya ia habiskan di kampung halaman, dan pengalaman menarik yang ia rasakan selama menjadi fotografer.
Sesekali Tara memberanikan diri menatap mata Bagas. Ia menemukan sesuatu yang beda di matanya. Cara Bagas bicara, melipat tangan, sampai membetulkan letak kacamatanya diperhatikan betul-betul oleh Tara.
Tak terasa jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00 wib. Penjaga museum pun sudah mengumumkan kalau museum ini akan segera tutup. Tara dan Bagas pun bergegas menuju parkiran motor dan pulang.
Sepanjang perjalanan Tara tidak banyak omong. Bagas pun juga diam memacu skuternya. Tara tidak tau apa yang ada dipikiran laki-laki yang baru dikenalnya ini. Mengapa Tara sampai berani meminta nomor handphone Bagas, hingga mengiyakan ajakan Bagas untuk kencan atau apalah namanya. Tara tidak tahu kenapa. Yang ia tahu ia mulai menyadari bahwa ia mulai: Nyaman.
Komentar
Posting Komentar