Menikah itu berat. Sejak zaman Prabu Siliwangi memerintah di Kerajaan Pajajaran pada 1443 Masehi, semua juga udah paham hal itu. Makanya gue suka "amaze", kok ada ya golongan manusia yang dikit-dikit ngeluh "Capek kerja, mau nikah aja", itu gimana ya maksudnya?
Gue (kebetulan) menikah di usia 26 tahun. Kenapa kebetulan? Jangan mikir gue (amit-amit) hamil duluan, jangaaan ya. Gue menikah di usia yang mungkin terbilang masih tahap wajar (kalo kata netijen, padahal ga ada kata terlambat untuk menikah kalo kata gue). Padahal dalam timeline gue, targetnya gue pengen nikah di usia 28-29 tahun. Gue pengen menikah ketika udah selesai dengan diri sendiri.
Tapi ternyata makin ke sini gue sadar, pasangan gue inilah yang ternyata membantu untuk pelan-pelan selesai dengan diri sendiri. Karena pada saat kita sudah menikah, tanggung jawab baru yang lebih besar sudah menanti di depan mata.
Tapi ternyata makin ke sini gue sadar, pasangan gue inilah yang ternyata membantu untuk pelan-pelan selesai dengan diri sendiri. Karena pada saat kita sudah menikah, tanggung jawab baru yang lebih besar sudah menanti di depan mata.
Balik ke topik kenapa menikah itu berat, makanya ada banyak hal yang harus jadi pertimbangan kalian wahai ughtea-ughtea follower Indonesia Tanpa Pacaran jika memang kebelet banget pengen menikah. Tapi gue gak mungkin bahas semuanya di sini karena pengalaman gue belum sampe ke sana. Gue cuma mau berbagi pandangan realistis aja tentang kehidupan setelah menikah.
Pertama, mulai dari mempersiapkan resepsi pernikahan aja itu udah banyak banget tantangannya. Mau make adat apa, gedungnya dimana, budgetnya berapa, mau pake foto prewedding atau engga, undangannya mau di desain gimana, Bu De Narti mau dikasih seragam ukuran apa, atau sampai hal remeh seperti nanti mau make berapa tangkai bunga di bucket yang dipegang mempelai wanita, itu semua bakal menguji kesabaran dan kewarasan kalian berdua.
Kedua, ketika udah menikahpun jangan jumawa dulu. Apalagi suka ngeledekin temen yang jomblo seumur hidupnya...
Jangan hanya karena kalian udah menikah, misi kalian sebagai khilafah di muka bumi ini sudah selesai. Kalo kata rang orang, menikah ibarat kita membuka lembaran baru di kehidupan. Masalahnya nih, kita gak bakal pernah tau berapa jumlah lembaran kehidupan kita tersebut. Bisa jadi nih ya, bakal beratus-ratus lembar atau sampe 1.000 tahun lamanya macam lagunya Jikustik.
Nah ya, kehidupan pernikahan itu tentu saja gak semulus mukanya Tasya farasya yang katanya dinobatkan sebagai Manusia Tanpa Pori-Pori. Rata, mulus, dan glowing kalo kata para pengabdi skincare.
Ada pasangan yang langsung dipercaya untuk mendapat keturunan. Ada yang memang sengaja menunda, ada juga yang go with the flow aja yang manut dikasih cepet alhamdulillah, gak terlalu cepat juga gak papa.
Ada pasangan yang langsung dipercaya untuk mendapat keturunan. Ada yang memang sengaja menunda, ada juga yang go with the flow aja yang manut dikasih cepet alhamdulillah, gak terlalu cepat juga gak papa.
Untuk yang langsung diberi keturunan, gue jadi inget percakapan gue sama seorang pria yang dibilang kawan juga nggak, tapi kami kebetulan pernah satu tim kerja dulu. Di satu sisi dia bersyukur bisa langsung dapat amanah oleh Tuhan, tapi di sisi lain sejujurnya dia agak kaget aja diberi amanah secepat itu. Kaget karena dia baru banget "napas" karena abis menyelenggarakan resepsi pernikahan, tentu keuangan dia masih belum stabil. Tapi sekaligus bersyukur karena gak perlu nunggu lama dan mendengar pertanyaan paling basa basi se-galaksi andromeda : "udah isi belum?".
Dia cerita, selama istrinya hamil banyak banget biaya ini itu. Gue gak tau pasti apa aja karena gue belum ngerasain hamil, tapi gue paham dia pasti dia ngeluarin biaya sebanyak itu karena pengen yang terbaik buat anak dan istrinya. Gak ada yang salah dengan hal itu memang. Tapi ya gitu, dia harus "ngencengin ikat pinggang" lagi demi si buah hati ini.
Untuk kasus yang belum diberi keturunan lain lagi. Harus punya hati dan telinga yang tebelnya ngalahin kaca anti peluru kayaknya untuk meredam bacotan netijen. Terus pastiin batre autosenyum di tubuh kalian harus selalu penuh sebelum pergi ke acara keluarga. Jangan sekali-kali lupa nge-charge atau bahkan ketinggalan kalo gak mau acara keluarga kamu berubah menjadi tawuran antar keluarga.
Sedihnya nih, kenapa selalu wanita yang dianggap sebagai penyebab kenapa pasangan belum dikaruniai anak. Si wanitanya terlalu sibuklah, gak bisa melayani suamilah, dan endesbre endesbre lainnya. Padahal, ada beribu kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Tapi kenapa selalu wanita yang selalu disalahkan.
Sedihnya nih, kenapa selalu wanita yang dianggap sebagai penyebab kenapa pasangan belum dikaruniai anak. Si wanitanya terlalu sibuklah, gak bisa melayani suamilah, dan endesbre endesbre lainnya. Padahal, ada beribu kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Tapi kenapa selalu wanita yang selalu disalahkan.
Untuk kasus yang memang menunda keturunan lebih parah lagi. Netijen yang maha sucipun ngejulid dengan membawa-bawa agama. Emang ya, perbuatan paling gampang dilakukan di muka bumi ini adalah ngejulid. Pasangan yang menunda punya keturunan dianggap egois dan bahkan dikatain mengingkari takdir Tuhan.
Padahal, bisa aja ada pasangan yang memang menunda punya keturunan karena ada hal lain yang harus mereka selesaikan. Mungkin pasangan tersebur sedang bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
We never know, right?
Tapi apakah pernikahan itu selalu berat? Terkadang gak juga. Menikah itu gak berat kalo kita bisa bekerja sama dengan pasangan dalam menyikapi kejulidan para netijen. Merelakan bahu basah karena ingus dan air mata semalaman, atau mengumpat bersama kemudian saling menguatkan, itu adalah sedikit dari sekian cara bekerja sama yang baik dengan pasangan menurut gue.
Maka dari itu jika kamu dijulidin sama netijen, mengumpatlah. Bukan menikahlah.
Komentar
Posting Komentar