Kalau ada orang yang paling mengerti jalan pikiran dan isi hati para suami di Gang Ahmada, barangkali jawabannya adalah Babe, penjaga warkop 24 jam di sudut Gang Ahmada. Bapak-bapak di lingkungan sana lebih senang mengadu pada Babeh terkait masalah yang dihadapinya, ketimbang pada istri-istrinya sendiri.
Tidak ada yang tahu siapa nama asli pria berpostur kurus, tinggi ini dan berkepala nyaris botak ini. Meski usianya nyaris mencapai kepala enam, tangan Babeh masih sangat lihai meracik Indomi, bubur kacang ijo dan kopi di Warkopnya.
Di warung kopi tersebut, Babe hidup sendiri. Tidak ada yang tahu persis dimana anak-anak dan istri Babeh. Segelintir tetangga bilang, Babeh dan istrinya sudah bercerai puluhan tahun lalu dan anaknya dibawa oleh istrinya. Sejak saat itu Babe mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan berjualan indomie, roti bakar, dan bubur kacang ijo beserta aneka minuman di salah satu gang sempit di Jakarta.
"Si Hasan kagak ke sini, Be?" tanya Pardi.
"Kagak. Abis berantem sama bininye. Duit abis ngojek bukannya dikasi ke bininye dulu, eh malah dipake judi. Bininye ngamuklah," jawab Babe.
"Hahahaha.. kacau dah," kata Pardi sambil menikmati semangkuk mie rebus yang dipesannya.
Ukuran warkop Babe memang kecil. Tapi sangat nyaman bagi bapak-bapak di sekitaran Gang Ahmada. Setiap malam, warkop Babe selalu ramai didatangi bapak-bapak tersebut. Ntah ingin sekedar ingin nongkrong, curhat, atau nonton bareng.
Di dalamnya terdapat televisi jadul berukuran 21 inchi yang warna gambarnya sangat menyilaukan mata. Terdapat dua kursi dan meja panjang berbentuk letter L yang dapat menampung sekitar delapan orang. Meski para bapak-bapak ini sebenarnya sudah punya tv yang jauh lebih canggih di rumah, mereka tetap nyaman nongkrong di Warkop Babe.
Tak lama kemudian, Hasan datang dengan wajah kusut. Masih mengenakan jaket ojek onlinenya, ia duduk di sebelah Pardi.
"Kopi dong, Beh. Biasa ya," kata Hasan.
"Gimana bini lu, masih ngamuk-ngamuk kagak? Lagi lu ada-ada aja. Duit bakal belanja dapur dipake judi. Kagak kasian sama anak-anak lu ntar gak pada makan?" kata Babe.
"Iya, Beh. Saya suntuk di rumah. Bini minta duit mulu. Duit ini, duit itulah. Dikira saya pohon duit apa? Saya ngojek kan capek, Beh. Pulang pulang malah ditagih duit terus," ujar Hasan sambil mengaduk kopinya.
Pardi yang sedari tadi diam aja ikut menimpali. "Lu emang rada-rada sih, San. Ya lu tanya lah bini lu, itu duit buat apa aja. Jangan main kasi aja," kata Pardi yang merasa senasib seperjuangan dengan Hasan.
"Kadang saya juga heran. Bini saya tuh, Beh. Adaaa aja yang dibeli tiap hari selain buat dapur. Ngutang panci lah, ngutang kipas angin, ngutang hp, kan saya puyeng, Beh," lanjut Pardi.
Melihat Hasan dan Pardi, Babeh cuma tersenyum. "Bini, anak dan rumah adalah tanggungjawab lu. Mereka senang, lu dapat pahala. Mereka susah, lu yang dosa. Karena lu adalah pemimpin di rumah tangga lu," kata Babeh.
Babeh tiba-tiba merenung. Dua puluh tiga tahun lalu, Gang Ahmada belum seramai ini. Masih berupa kebon pala. Di sana ada sebuah rumah bergaya khas betawi dengan halamannya yang luas. Tinggal di sana sebuah keluarga Mak Nur dan dua anaknya. Suaminya adalah seorang pedagang sukses di Pasar Senen dan juga punya beberapa angkot. Dan orang itu adalah Babeh. Babeh, sangat mencintai anak dan istrinya. Makanya ia bekerja keras demi keluarganya, sampai ia bisa sesukses saat itu.
Hari Selasa, dua puluh tiga tahun lalu matahari Jakarta bersinar sangat terik. Seperti biasa, Babeh sedang sibuk berjualan di Pasar Senen. Mak Nur hari itu tidak ikut berjualan, karena sedang sakit, dan menjaga dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Mak Nur dan kedua anaknya saat itu tengah tidur siang. Tiba-tiba korsleting terjadi yang berasal dari setrika yang lupa dicabutnya di kamar sebelum ia tidur siang. Api melalap Mak Nur dan kedua anaknya yang tak sempat menyelamatkan diri. Ketiganya tewas terpanggang siang itu.
Babeh yang sedang berjualan mendapat kabar rumahnya kebakaran, ia langsung bergegas pulang. Tapi apa mau dikata, sesampainya di rumah, ia sudah kehilangan semuanya. Tidak hanya hartanya, tapi juga anak dan istrinya.
Sejak saat itu, Babeh depresi. Harta kekayaannya tak tahu kemana. Ia habiskan dengan berjudi, main perempuan dan mabuk-mabukan. Ia begitu terpukul sampai ia tidak mau lagi berbicara dengan siapapun. Para tetangga juga mulai menjauhi Babeh. Tetangganya juga pindah satu per satu karena gusuran pembangunan.
Sisa hidupnya ia habiskan dengan membuka Warkop di tanah bekas rumahnya yang terbakar dulu. Sebuah perkampungan kumuh, di tengah ramainya bunyi klakson mobil dan motor Jakarta. Ia tidak pernah mau pindah dari sana. Bahkan mungkin sampai Babeh tutup usia.
Tidak ada yang tahu siapa nama asli pria berpostur kurus, tinggi ini dan berkepala nyaris botak ini. Meski usianya nyaris mencapai kepala enam, tangan Babeh masih sangat lihai meracik Indomi, bubur kacang ijo dan kopi di Warkopnya.
Di warung kopi tersebut, Babe hidup sendiri. Tidak ada yang tahu persis dimana anak-anak dan istri Babeh. Segelintir tetangga bilang, Babeh dan istrinya sudah bercerai puluhan tahun lalu dan anaknya dibawa oleh istrinya. Sejak saat itu Babe mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan berjualan indomie, roti bakar, dan bubur kacang ijo beserta aneka minuman di salah satu gang sempit di Jakarta.
"Si Hasan kagak ke sini, Be?" tanya Pardi.
"Kagak. Abis berantem sama bininye. Duit abis ngojek bukannya dikasi ke bininye dulu, eh malah dipake judi. Bininye ngamuklah," jawab Babe.
"Hahahaha.. kacau dah," kata Pardi sambil menikmati semangkuk mie rebus yang dipesannya.
Ukuran warkop Babe memang kecil. Tapi sangat nyaman bagi bapak-bapak di sekitaran Gang Ahmada. Setiap malam, warkop Babe selalu ramai didatangi bapak-bapak tersebut. Ntah ingin sekedar ingin nongkrong, curhat, atau nonton bareng.
Di dalamnya terdapat televisi jadul berukuran 21 inchi yang warna gambarnya sangat menyilaukan mata. Terdapat dua kursi dan meja panjang berbentuk letter L yang dapat menampung sekitar delapan orang. Meski para bapak-bapak ini sebenarnya sudah punya tv yang jauh lebih canggih di rumah, mereka tetap nyaman nongkrong di Warkop Babe.
Tak lama kemudian, Hasan datang dengan wajah kusut. Masih mengenakan jaket ojek onlinenya, ia duduk di sebelah Pardi.
"Kopi dong, Beh. Biasa ya," kata Hasan.
"Gimana bini lu, masih ngamuk-ngamuk kagak? Lagi lu ada-ada aja. Duit bakal belanja dapur dipake judi. Kagak kasian sama anak-anak lu ntar gak pada makan?" kata Babe.
"Iya, Beh. Saya suntuk di rumah. Bini minta duit mulu. Duit ini, duit itulah. Dikira saya pohon duit apa? Saya ngojek kan capek, Beh. Pulang pulang malah ditagih duit terus," ujar Hasan sambil mengaduk kopinya.
Pardi yang sedari tadi diam aja ikut menimpali. "Lu emang rada-rada sih, San. Ya lu tanya lah bini lu, itu duit buat apa aja. Jangan main kasi aja," kata Pardi yang merasa senasib seperjuangan dengan Hasan.
"Kadang saya juga heran. Bini saya tuh, Beh. Adaaa aja yang dibeli tiap hari selain buat dapur. Ngutang panci lah, ngutang kipas angin, ngutang hp, kan saya puyeng, Beh," lanjut Pardi.
Melihat Hasan dan Pardi, Babeh cuma tersenyum. "Bini, anak dan rumah adalah tanggungjawab lu. Mereka senang, lu dapat pahala. Mereka susah, lu yang dosa. Karena lu adalah pemimpin di rumah tangga lu," kata Babeh.
Babeh tiba-tiba merenung. Dua puluh tiga tahun lalu, Gang Ahmada belum seramai ini. Masih berupa kebon pala. Di sana ada sebuah rumah bergaya khas betawi dengan halamannya yang luas. Tinggal di sana sebuah keluarga Mak Nur dan dua anaknya. Suaminya adalah seorang pedagang sukses di Pasar Senen dan juga punya beberapa angkot. Dan orang itu adalah Babeh. Babeh, sangat mencintai anak dan istrinya. Makanya ia bekerja keras demi keluarganya, sampai ia bisa sesukses saat itu.
Hari Selasa, dua puluh tiga tahun lalu matahari Jakarta bersinar sangat terik. Seperti biasa, Babeh sedang sibuk berjualan di Pasar Senen. Mak Nur hari itu tidak ikut berjualan, karena sedang sakit, dan menjaga dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Mak Nur dan kedua anaknya saat itu tengah tidur siang. Tiba-tiba korsleting terjadi yang berasal dari setrika yang lupa dicabutnya di kamar sebelum ia tidur siang. Api melalap Mak Nur dan kedua anaknya yang tak sempat menyelamatkan diri. Ketiganya tewas terpanggang siang itu.
Babeh yang sedang berjualan mendapat kabar rumahnya kebakaran, ia langsung bergegas pulang. Tapi apa mau dikata, sesampainya di rumah, ia sudah kehilangan semuanya. Tidak hanya hartanya, tapi juga anak dan istrinya.
Sejak saat itu, Babeh depresi. Harta kekayaannya tak tahu kemana. Ia habiskan dengan berjudi, main perempuan dan mabuk-mabukan. Ia begitu terpukul sampai ia tidak mau lagi berbicara dengan siapapun. Para tetangga juga mulai menjauhi Babeh. Tetangganya juga pindah satu per satu karena gusuran pembangunan.
Sisa hidupnya ia habiskan dengan membuka Warkop di tanah bekas rumahnya yang terbakar dulu. Sebuah perkampungan kumuh, di tengah ramainya bunyi klakson mobil dan motor Jakarta. Ia tidak pernah mau pindah dari sana. Bahkan mungkin sampai Babeh tutup usia.
ilustrasi: https://super1974.files.wordpress.com/2013/03/compress-11.jpg |
Komentar
Posting Komentar