Pernikahan kami tidak berjalan mulus. Satu tahun pertama, Dimas sering pulang kerja hingga larut malam. Bagi pengantin baru, tahun pertama pernikahan lazimnya adalah masa-masa yang indah. Setiap kali kutanya alasannya, jawabnya selalu sama. "Sibuk di kantor". Karena tidak ingin memperpanjang masalah, dan akupun diam.
Pagi itu Dimas berangkat kerja seperti biasa. Aku menyiapkan sarapan untuknya, kemudian ia pamit dan meninggalkan aku sendiri lagi di rumah. Begitu setiap hari. Sampai kini tiga tahun usia pernikahan kami, dan belum dikaruniai anak. Aku dan Dimas sudah mencoba untuk mengecek ke berbagai dokter, tidak ada yang salah. Mungkin Tuhan meminta kami untuk memperbaiki hubungan kami dulu, sebelum menitipkan seorang malaikat kecil yang bernama bayi.
Aku dilarang bekerja oleh Dimas. "Urusan keuangan rumah tangga biar jadi tanggungjawabku, Mira. 5Urusan beberes rumah itu biar menjadi tanggungjawabmu," kata Dimas waktu itu. Pernah aku meminta izin untuk bekerja paruh waktu menjadi penulis lepas di salah satu penerbit di kota kami tinggal, tapi Dimas melarang. Memang gajinya tidak seberapa, karena memang bukan gaji yang kucari. Aku cuma tak mau otakku beku karena hanya berdiam di rumah.
Suatu siang aku sedang menyetrika pakaian Dimas, aku menemukan secarik kertas bukti transferan sejumlah uang ke rekening seorang wanita. Jumlahnya lumayan, sekitar Rp3 juta atas nama Nia Safitri. Kusimpan bukti itu di dalam dompetku, jika waktunya pas ingin aku tanyakan hal ini pada Dimas.
Malamnya, usai menemani suamiku ini makan, aku mencoba menanyakan perihal kertas bukti transfer yang kutemukan di sakunya tadi siang. "Aku menemukan ini di kemejamu," kataku sambil meletakkan kertas itu di depan mejanya. Dimas kemudian melirik, mengambil dan memperhatikan kertas itu.
"Bukan apa-apa," kata Dimas lalu meninggalkanku.
Aku tak pernah tahu apa yang membuatku mau ketika dinikahi oleh Dimas. Yang aku tahu, aku mencintainya. Aku kenal dia 5 tahun lalu. Ia bekerja sebagai telco engineer di salah satu perusahaan swasta di Jakarta sebelum kami pindah ke Jogja. Ia pria baik, bertanggungjawab dan sayang kepada keluarganya. Kami berpacaran 2 tahun, dan kemudian menikah. Semua berjalan normal. Tapi ntah kenapa beberapa bulan setelah menikah, Dimas berubah 180 derajat.
Aku berjalan ke kamar. Di sana aku melihat suamiku sudah tertidur dengan pulasnya. "Mungkin dia lelah sehabis bekerja seharian," batinku. Aku berjalan ke sebelahnya, mencoba membenarkan letak selimutnya. Perlahan aku memperhatikan alisnya dan matanya, bagian yang paling ku suka. Semuanya masih sama, seperti 5 tahun lalu. Seperti aku pertama kali bertemu dengannya.
Keesokan paginya Dimas berangkat kerja pagi-pagi sekali. Ketika aku baru bangun, aku mendengar Dimas menutup pintu pagar. Aku tak sempat menanyakan mengapa ia berangkat sepagi itu.
Ternyata, itu hari terakhir aku melihat Dimas di rumah kami. Dimas pergi sambil mengemasi beberapa bajunya. Aku mencoba menghubungi kantornya, temannya, tidak ada yang tahu. Semua seolah-olah kompak menyembunyikannya dariku. Berhari-hari aku mencari keberadaan Dimas. Handphonenya tidak pernah aktif sejak hari itu.
Pagi itu aku bangun dengan mata yang masih sembab. Kulihat kasur di sebelahku masih kosong, tidak ada Dimas. Ini hari ke 23 aku bangun dengan keadaan seperti ini. Aku menjadi orang yang tidak waras. Kadang tertawa, kadang aku menangis sendiri memikirkan mengapa pernikahanku harus seperti ini.
Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan menulis. Hobi yang pernah dilarang oleh Dimas waktu itu. Menulis membuatku jauh lebih baik. Pelan-pelan aku juga mendapat honor yang lumayan dari tulisanku semenjak ditinggal Dimas.
Suatu malam ketika aku sedang menulis, tiba-tiba aku mendengar suara mobil yang sudah tidak asing lagi di telingaku datang dari balik pagar. Aku beranjak dari meja kerjaku. Memastikan apakah itu suamiku atau bukan. Ntahlah, apa dia masih menganggapku sebagai istrinya.
Dimas mengetuk pintu, perlahan aku membiarkannya masuk. Dadaku sesak, mataku panas mengeluarkan air. Tapi suaraku tercekat di tenggorokanku. Aku tak sanggup bersuara untuk menanyakan kemana dia selama ini. Siapa yang memasakkan sarapan telur dadar kecap kesukaannya setiap pagi, siapa yang selalu menemukan kacamatanya ketika ia menaruhnya sembarangan, atau pertanyaan yang paling ingin kutanyakan : Kemana engkau selama ini. Tapi nyatanya, tidak ada satupun kalimat terlontar dari bibirku. Tapi satu hal yang jelas, aku sangat merindukannya. Rindu sekali.
"Aku ingin bercerai. Kita tidak mungkin bersama lagi," kata Dimas.
Pria yang ku kenal 6 tahun lalu, yang menikahiku baik-baik di depan orangtuaku tega mencampakkan aku seperti ini. Rasanya, aku sudah berusaha menjadi istri yang sebaik mungkin baginya. Aku tak pernah membangkang, aku menuruti semua maunya, aku korbankan cita-citaku demi dia. Pindah dari Jakarta ke Jogja demi mimpinya. Bahkan jika boleh aku menilai diriku sendiri, dari skala 1-10 skorku sebagai istri mungkin di angka 8.
"Apa salahku sampai kau menceraikan aku, Mas? Aku gak mengerti kenapa kamu berubah beberapa bulan setelah pernikahan kita, sampai sekarang. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu. Apa masih kurang, Mas?" tanyaku.
"Kamu ketika kunikahi sudah gak perawan, Mira! itu salahmu," kata Dimas sambil berlalu meninggalkanku.
Malamnya, usai menemani suamiku ini makan, aku mencoba menanyakan perihal kertas bukti transfer yang kutemukan di sakunya tadi siang. "Aku menemukan ini di kemejamu," kataku sambil meletakkan kertas itu di depan mejanya. Dimas kemudian melirik, mengambil dan memperhatikan kertas itu.
"Bukan apa-apa," kata Dimas lalu meninggalkanku.
Aku tak pernah tahu apa yang membuatku mau ketika dinikahi oleh Dimas. Yang aku tahu, aku mencintainya. Aku kenal dia 5 tahun lalu. Ia bekerja sebagai telco engineer di salah satu perusahaan swasta di Jakarta sebelum kami pindah ke Jogja. Ia pria baik, bertanggungjawab dan sayang kepada keluarganya. Kami berpacaran 2 tahun, dan kemudian menikah. Semua berjalan normal. Tapi ntah kenapa beberapa bulan setelah menikah, Dimas berubah 180 derajat.
Aku berjalan ke kamar. Di sana aku melihat suamiku sudah tertidur dengan pulasnya. "Mungkin dia lelah sehabis bekerja seharian," batinku. Aku berjalan ke sebelahnya, mencoba membenarkan letak selimutnya. Perlahan aku memperhatikan alisnya dan matanya, bagian yang paling ku suka. Semuanya masih sama, seperti 5 tahun lalu. Seperti aku pertama kali bertemu dengannya.
Keesokan paginya Dimas berangkat kerja pagi-pagi sekali. Ketika aku baru bangun, aku mendengar Dimas menutup pintu pagar. Aku tak sempat menanyakan mengapa ia berangkat sepagi itu.
Ternyata, itu hari terakhir aku melihat Dimas di rumah kami. Dimas pergi sambil mengemasi beberapa bajunya. Aku mencoba menghubungi kantornya, temannya, tidak ada yang tahu. Semua seolah-olah kompak menyembunyikannya dariku. Berhari-hari aku mencari keberadaan Dimas. Handphonenya tidak pernah aktif sejak hari itu.
Pagi itu aku bangun dengan mata yang masih sembab. Kulihat kasur di sebelahku masih kosong, tidak ada Dimas. Ini hari ke 23 aku bangun dengan keadaan seperti ini. Aku menjadi orang yang tidak waras. Kadang tertawa, kadang aku menangis sendiri memikirkan mengapa pernikahanku harus seperti ini.
Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan menulis. Hobi yang pernah dilarang oleh Dimas waktu itu. Menulis membuatku jauh lebih baik. Pelan-pelan aku juga mendapat honor yang lumayan dari tulisanku semenjak ditinggal Dimas.
Suatu malam ketika aku sedang menulis, tiba-tiba aku mendengar suara mobil yang sudah tidak asing lagi di telingaku datang dari balik pagar. Aku beranjak dari meja kerjaku. Memastikan apakah itu suamiku atau bukan. Ntahlah, apa dia masih menganggapku sebagai istrinya.
Dimas mengetuk pintu, perlahan aku membiarkannya masuk. Dadaku sesak, mataku panas mengeluarkan air. Tapi suaraku tercekat di tenggorokanku. Aku tak sanggup bersuara untuk menanyakan kemana dia selama ini. Siapa yang memasakkan sarapan telur dadar kecap kesukaannya setiap pagi, siapa yang selalu menemukan kacamatanya ketika ia menaruhnya sembarangan, atau pertanyaan yang paling ingin kutanyakan : Kemana engkau selama ini. Tapi nyatanya, tidak ada satupun kalimat terlontar dari bibirku. Tapi satu hal yang jelas, aku sangat merindukannya. Rindu sekali.
"Aku ingin bercerai. Kita tidak mungkin bersama lagi," kata Dimas.
Pria yang ku kenal 6 tahun lalu, yang menikahiku baik-baik di depan orangtuaku tega mencampakkan aku seperti ini. Rasanya, aku sudah berusaha menjadi istri yang sebaik mungkin baginya. Aku tak pernah membangkang, aku menuruti semua maunya, aku korbankan cita-citaku demi dia. Pindah dari Jakarta ke Jogja demi mimpinya. Bahkan jika boleh aku menilai diriku sendiri, dari skala 1-10 skorku sebagai istri mungkin di angka 8.
"Apa salahku sampai kau menceraikan aku, Mas? Aku gak mengerti kenapa kamu berubah beberapa bulan setelah pernikahan kita, sampai sekarang. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu. Apa masih kurang, Mas?" tanyaku.
"Kamu ketika kunikahi sudah gak perawan, Mira! itu salahmu," kata Dimas sambil berlalu meninggalkanku.
Foto: copyright dailymail.co.uk |
Komentar
Posting Komentar