Bukan untuk memperkeruh suasana atau menggurui, tulisan gue ini cuma sekedar berbagi pengalaman bagaimana orang tua gue mengajarkan gue untuk hidup bertoleransi sejak kecil. Sama sekali gak ada maksud apa-apa. Karena kalau kita mau, kita bisa hidup aman dan damai berdampingan dengan apapun agamanya. Karena kita semua manusia dan memiliki rasa kemanusiaan. Jadi yang suka ribut-ribut dan nge-judge suatu agama tertentu, mending cek dulu situ beneran manusia atau bukan.
Gue lahir 24 tahun lalu di sudut kota Padang, Sumatera Barat. Layaknya orang Minang pada umumnya, almarhum bokap gue sehari-harinya berprofesi sebagai seorang pedagang. Tokonya merupakan warisan dari orangtuanya yang berlokasi di sentra ekonomi kota Padang, yaitu Pasar Raya Padang. Bokap gue tumbuh dan besar di keluarga yang sangat taat agamanya. Sewaktu kecil, dia sering diajak opa (kakek) gue untuk mengaji di surau. Benar saja, sampai beliau menutup mata, sholatnya tidak pernah alpha setau gue. Bahkan Yang Maha Kuasa memanggil beliau ketika usai melakukan sholat Dzuhur.
Nyokap gue numpang lahir di Semarang. Kakek gue dulunya adalah polisi berpangkat AKBP di Padang. Jadi nggak heran kalo ada beberapa anaknya yang lahir di kota tempat kakek gue pernah bertugas. Nyokap gue menghabiskan lebih dari separuh usianya dengan mengabdi menjadi perawat di salah satu rumah sakit swasta kristen di kota Padang. Sehari-harinya nyokap gue bergaul dengan suster, dokter, pasien, pastor, hingga office boy dan girl yang berbeda suku dan agama dengan dia. Tapi semuanya hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Orang Minang terkenal sebagai orang yang alim dan taat agamanya. Bokap gue contohnya, dia akan sangat marah sekali ketika gue dan kakak gue gak sholat. Setiap gue habis mandi pagi atau sore selalu ditanya "Alah bauluak?" (arti= Sudah berwudhu?). Maksudnya beliau mengajarkan untuk selalu berwudhu dan sekalian sholat. Tapi, ya namanya anak-anak, dulu gue dan kakak gue kadang suka boong gitu kalo disuruh sholat. Jangan ditiru ya :((
Pernah sekali, saking ketatnya dia dengan ajaran sholat ini, dia mantengin gue dari berwudhu sampai selesai sholat. Buat mastiin kalo gue bener-bener sholat. Beranjak dewasa, gue sadar kalo sholat itu adalah kebutuhan sebenarnya, bukan kewajiban. Gue butuh sholat karena sehabis sholat biasanya jiwa gue merasa lebih tenang. Disamping yang gue tau kalo sholat memang kewajiban setiap umat Islam.
Karena nyokap gue sehari-harinya bekerja di lingkungan yang agamanya berbeda dengan kami, sejak kecil gue sudah diajarin bagaimana bertoleransi dengan agama lain. Di sebelah rumah sakit tempat nyokap gue bekerja ada sebuah rumah yang dihuni oleh dua orang pastor berkebangsaan Italia. Namanya Pastor Larufa dan Pastor Mario. Setiap Natal tiba, gue sama kakak gue sering dibawa sama nyokap gue ke rumah tersebut.
Waktu kecil gue sama kakak gue itu item banget karena sering main. Sementara nyokap gue itu kulitnya putih. Setiap ketemu sama Pastor Mario dan Pastor Larufa itu gue selalu diledekin "Keling". Terus guenya gambek, dan gue dikasi coklat tapi gue lupa merknya apa. Bahkan gak cuma saat Natal, setiap kedua pastor tersebut pulang kebaktian dari berbagai negara, gue dan kakak gue selalu dikasi oleh-oleh coklat. Gue bahagia. Sesimpel itu.
Begitu juga kalau Idul Fitri tiba. Gue, kakak gue dan nyokap suka diundang ke rumahnya untuk silaturahmi. Bahkan, Pastor Mario dan Larufa juga suka ngasi "salam tempel" (Angpao:red) buat gue dan kakak gue. Gue bahagia. Sesimpel itu.
Beranjak SMA, gue sekolah di salah satu satu sekolah khatolik di kota Padang. Di sana gue belajar arti toleransi lebih luas lagi. Sekolah gue itu sering gue sebut "miniatur Indonesia". Kenapa? Karena sekitar 60% siswa di sekolah gue itu etnis Tionghoa, 20% penduduk asli kota Padang, dan sisanya dari berbagai suku seperti Medan, Jawa, Batak, Nias, dll). Semua diperlakukan sama. Kami semua satu di sana.
Guru-guru gue pun begitu. Mereka mendidik kami semua untuk melebur dan menghargai perbedaan. Selama 3 tahun gue menimba ilmu di sana, belum pernah terjadi gesekan dengan teman-teman gue soal agama. Sama sekali enggak. Justru gue merasa amat sangat beruntung pernah bersekolah di sana. Selain diajarin toleransi, sekolah gue terkenal dengan disiplinnya yang sangat ketat. Maklum, sekolah gue merupakan salah satu sekolah swasta terbaik di kota Padang. Tapi, sayangnya habis lulus gue gak bisa mempertahankan itu sih. Emang ya, lingkungan itu bener-bener mempengaruhi dan membentuk karakter elo banget.
Sekian pengalaman gue gimana rasanya hidup rukun dan damai dalam perbedaan. Gak ada yang perlu diributin sebenarnya, karena pada dasarnya semua agama itu mengajarkan kedamaian. Kita semua manusia yang sama-sama punya hak untuk bebas memeluk agama manapun yang diakui oleh negara. Jadi, yang dikit-dikit komen "penistaan agama" atau apalah, mending kurang-kurangin deh ya nyemilin Royconya. Selamat malam.
Gue lahir 24 tahun lalu di sudut kota Padang, Sumatera Barat. Layaknya orang Minang pada umumnya, almarhum bokap gue sehari-harinya berprofesi sebagai seorang pedagang. Tokonya merupakan warisan dari orangtuanya yang berlokasi di sentra ekonomi kota Padang, yaitu Pasar Raya Padang. Bokap gue tumbuh dan besar di keluarga yang sangat taat agamanya. Sewaktu kecil, dia sering diajak opa (kakek) gue untuk mengaji di surau. Benar saja, sampai beliau menutup mata, sholatnya tidak pernah alpha setau gue. Bahkan Yang Maha Kuasa memanggil beliau ketika usai melakukan sholat Dzuhur.
Nyokap gue numpang lahir di Semarang. Kakek gue dulunya adalah polisi berpangkat AKBP di Padang. Jadi nggak heran kalo ada beberapa anaknya yang lahir di kota tempat kakek gue pernah bertugas. Nyokap gue menghabiskan lebih dari separuh usianya dengan mengabdi menjadi perawat di salah satu rumah sakit swasta kristen di kota Padang. Sehari-harinya nyokap gue bergaul dengan suster, dokter, pasien, pastor, hingga office boy dan girl yang berbeda suku dan agama dengan dia. Tapi semuanya hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Orang Minang terkenal sebagai orang yang alim dan taat agamanya. Bokap gue contohnya, dia akan sangat marah sekali ketika gue dan kakak gue gak sholat. Setiap gue habis mandi pagi atau sore selalu ditanya "Alah bauluak?" (arti= Sudah berwudhu?). Maksudnya beliau mengajarkan untuk selalu berwudhu dan sekalian sholat. Tapi, ya namanya anak-anak, dulu gue dan kakak gue kadang suka boong gitu kalo disuruh sholat. Jangan ditiru ya :((
Pernah sekali, saking ketatnya dia dengan ajaran sholat ini, dia mantengin gue dari berwudhu sampai selesai sholat. Buat mastiin kalo gue bener-bener sholat. Beranjak dewasa, gue sadar kalo sholat itu adalah kebutuhan sebenarnya, bukan kewajiban. Gue butuh sholat karena sehabis sholat biasanya jiwa gue merasa lebih tenang. Disamping yang gue tau kalo sholat memang kewajiban setiap umat Islam.
Karena nyokap gue sehari-harinya bekerja di lingkungan yang agamanya berbeda dengan kami, sejak kecil gue sudah diajarin bagaimana bertoleransi dengan agama lain. Di sebelah rumah sakit tempat nyokap gue bekerja ada sebuah rumah yang dihuni oleh dua orang pastor berkebangsaan Italia. Namanya Pastor Larufa dan Pastor Mario. Setiap Natal tiba, gue sama kakak gue sering dibawa sama nyokap gue ke rumah tersebut.
Waktu kecil gue sama kakak gue itu item banget karena sering main. Sementara nyokap gue itu kulitnya putih. Setiap ketemu sama Pastor Mario dan Pastor Larufa itu gue selalu diledekin "Keling". Terus guenya gambek, dan gue dikasi coklat tapi gue lupa merknya apa. Bahkan gak cuma saat Natal, setiap kedua pastor tersebut pulang kebaktian dari berbagai negara, gue dan kakak gue selalu dikasi oleh-oleh coklat. Gue bahagia. Sesimpel itu.
Begitu juga kalau Idul Fitri tiba. Gue, kakak gue dan nyokap suka diundang ke rumahnya untuk silaturahmi. Bahkan, Pastor Mario dan Larufa juga suka ngasi "salam tempel" (Angpao:red) buat gue dan kakak gue. Gue bahagia. Sesimpel itu.
Beranjak SMA, gue sekolah di salah satu satu sekolah khatolik di kota Padang. Di sana gue belajar arti toleransi lebih luas lagi. Sekolah gue itu sering gue sebut "miniatur Indonesia". Kenapa? Karena sekitar 60% siswa di sekolah gue itu etnis Tionghoa, 20% penduduk asli kota Padang, dan sisanya dari berbagai suku seperti Medan, Jawa, Batak, Nias, dll). Semua diperlakukan sama. Kami semua satu di sana.
Guru-guru gue pun begitu. Mereka mendidik kami semua untuk melebur dan menghargai perbedaan. Selama 3 tahun gue menimba ilmu di sana, belum pernah terjadi gesekan dengan teman-teman gue soal agama. Sama sekali enggak. Justru gue merasa amat sangat beruntung pernah bersekolah di sana. Selain diajarin toleransi, sekolah gue terkenal dengan disiplinnya yang sangat ketat. Maklum, sekolah gue merupakan salah satu sekolah swasta terbaik di kota Padang. Tapi, sayangnya habis lulus gue gak bisa mempertahankan itu sih. Emang ya, lingkungan itu bener-bener mempengaruhi dan membentuk karakter elo banget.
Sekian pengalaman gue gimana rasanya hidup rukun dan damai dalam perbedaan. Gak ada yang perlu diributin sebenarnya, karena pada dasarnya semua agama itu mengajarkan kedamaian. Kita semua manusia yang sama-sama punya hak untuk bebas memeluk agama manapun yang diakui oleh negara. Jadi, yang dikit-dikit komen "penistaan agama" atau apalah, mending kurang-kurangin deh ya nyemilin Royconya. Selamat malam.
Foto : http://rlv.zcache.com/coexist_with_tolerance_png_bumper_sticker-r88f7c973906748bd8d8ae19ee88d3d8b_v9wht_8byvr_324.jpg |
Komentar
Posting Komentar