foto: IG @.adlynndiyana |
Hari itu hari Sabtu, pukul satu siang.
Aku bercermin lebih lama, mematut diri. Entah berapa pasang baju yang kukenakan di badanku. Pasang, ganti lagi, pasang, ganti lagi. Dan entah ke berapa kali juga gincu ini kuhapus dan kuganti dengan warna lain. Lalu aku berputar kekiri dan kekanan, memastikan penampilanku kali ini sudah sempurna. Ah, dasar wanita.
Langkah kakiku terasa cepat, secepat detak jantungku. Anehnya, sang waktu juga berjalan lebih cepat dari biasanya siang itu. Kupacu langkah kakiku agar berjalan lebih cepat lagi untuk sampai di halte busway.
Sepanjang perjalanan aku melamun, membayangkan engkau sudah duduk menungguku disitu. Dengan muka datarmu itu yang selalu membuatku gemas. Saking 'lempeng'nya, aku menamaimu Tuan Tanpa Ekspresi di ponselku.
Rambutmu yang panjang tidak biasa-biasanya disisir rapi. Mungkin karena akan bertemu aku. Sesekali kau membetulkan letak kacamatamu yang supertebal itu. Sejujurnya, aku lebih suka melihatmu tanpa kacamata. Melihat lebih dalam ke retina matamu, seperti aku menyelami dirimu.
"Kalau kata orang-orang, mataku warnanya coklat," katamu kala itu.
"oh ya?", ucapku dari seberang sana.
Kopi gayo dan pisang goreng menemani siangmu. Ini sudah gelas kedua, dan aku belum juga datang. Aku masih terjebak di tengah carut marut kemacetan Ibu kota. Tapi kau tetap menungguku dengan sabar, sesabar aku menunggu semesta yang akhirnya mengizinkan kita untuk bertemu hari ini.
Hari itu hari Sabtu, pukul satu siang. Teduh sekali rasanya.
Aku sudah tiba di halte tujuanku. Bergegas menemuimu yang sudah menungguku sedari tadi. Aku memperlambat langkah kakiku, Dari balik jendela samar-samar aku melihat kau duduk, tenang. Wajahmu teduh ternyata jika dilihat dari dekat.
Ini pertama kali aku melihat wajahmu secara langsung di dunia nyata. Maklum saja, 855 kilometer jarak, perbedaan waktu satu jam dan bahasa memisahkan kita. Tak jarang kita harus berdamai dengan jarak dan sang waktu.
Aku telah sampai. Kita bertatapan, berjabat tangan layaknya dua orang asing yang baru berkenalan. Jangan ditanya apa aku tau warna matanya, menatapnya saja aku tak berani.
Semua canda, tawa, keisengan yang kita jalin lewat udara seakan hilang. Berganti dengan rasa gugup dan detak jantung yang tidak bisa dikontrol. Perlahan keringat dingin berjalan membasahi punggungku. Kenapa aku jadi begini? Aku terlihat seperti orang paling tolol sedunia waktu itu.
Kau menatapku, lekat sekali. Ntah apa maksudnya. Sedetik kemudian kau memintaku duduk. Kita berhadapan, untuk pertama kalinya. Taukah kau apa yang kurasa waktu itu? Seperti ada kupu-kupu terbang di perutku. Norak? Tidak masuk akal? Memangnya sejak kapan ada cinta yang masuk akal?
Hari itu hari Sabtu, pukul dua siang.
Kita bercerita, tentang diri kita. Cerita tentang apa yang tidak bisa kita ungkapkan ketika di dunia maya. Suasana mulai mencair. Perlahan aku mulai berani menatap matamu. Ternyata benar, matamu berwarna coklat. Matamu teduh.
Beranjak sore, kita berjalan menuju taman kota. Suara kicau burung dan gemericik air jauh lebih indah, ketimbang menghabiskan Sabtu seperti orang pada umumnya ditengah hiruk pikuk di dalam mall. Sederhana saja, karena yang sederhana itu jauh lebih menenangkan.
Aku berjalan di sebelahmu. Sesekali aku memperlambat langkah kakiku untuk melihat punggungmu. Punggung yang mungkin saja suatu saat aku basahi dengan tangis sedih atau bahagia kita. Tiba-tiba kau tersenyum melihatku tertinggal di belakangmu. Percayalah, wajah 'lempeng'mu itu jauh lebih manis jika kau tersenyum.
Kitapun duduk di bangku taman, persis di depan kandang merpati. Sambil menunggu senja. Senja yang tenang. Walaupun ia datang cuma sebentar dan kemudian pergi lagi. Senja yang tidak pernah ingkar janji. Seperti engkau yang juga berjanji untuk kembali. Tapi ntah kapan. Katamu.
-Hari kedua di bulan November-
Komentar
Posting Komentar